Puasa: Menuju Jiwa yang Tenang
Oleh Dr. H. Ihsan, M.Ag
Sebagai bagian dari ibadah wajib, puasa di bulan suci Ramadhan menyimpan nilai strategis terutama bagi pembentukan karakter yang mulia. Karakter ini yang dibutuhkan di tengah merebaknya sikap negatif di dalam kehidupan beragama. Intoleransi, ujaran kebencian, hingga radikalisme dan terorisme menjadi deretan karakter negatif dalam praktik beragama.
Mengapa puasa bisa menumbuhkan kepribadian yang positif? Karena ia merupakan ibadah sufistik. Agak berbeda dengan ibadah lain yang lebih menonjol unsur fikihnya, puasa sangat sufistik. Di dalam ibadah ini, kita diminta untuk mengendalikan diri, membuang emosi negatif, menuju hubungan yang intim dengan Allah SWT. Di dalam puasa kita belajar ihlas, karena tidak ada yang benar-benar tahu puasa kita, selain kita dan Tuhan, sebagaimana hadist Qudsy ...Asshoumu lii wa ana ajzii bihi, innahuu taroka syahwatahu wa tho aamahu wa syaroobahu min ajlii..., bahwa puasa hanyalah untuk-Ku dan Akulah yang akan memberi ganjaran pada-Nya secara langsung, sebab ia telah meninggalkan hawa nafsu, makan, dan minumannya karena-Ku.
Di dalam puasa, kita tidak hanya diminta menghentikan aktivitas makan-minum, tetapi juga seksualitas dan amarah. Dua hal terakhir ini merupakan nafsu yang paling merusak dunia dan martabat manusia. Dengan puasa, kita belajar melembutkan hati menuju apa yang oleh al-Qur’an disebut sebagai jiwa yang tenang. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Q.S. al-Fajr: 27-30: Ya ayyatuha al-nafs al-muthma innah irji ii ilaa Rabbiki raadliyatan mardliyyah, fadkhuli fii ibaadii wadkhulii jannatii. Artinya, Wahai jiwa yang tenang, Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati puas lagi diridhai-Nya. Masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku. Masuklah ke dalam surga-Ku.
Dari ayat di atas, kita menemukan prinsip ketuhanan yang hanya menerima hamba-Nya yang memiliki kualitas jiwa yang tenang. Hanya pemilik jiwa-jiwa yang tenang itulah yang diridhai-Nya, diakui sebagai hamba-Nya, dan dimasukkan ke dalam surga-Nya. Dalam konteks manusia yang berjiwa tenang, teori John Barch, dari newyork university dalam eksperimentasi klinisnya menyimpulkan bahwa kata-kata positif maupun negatif seseorang yang senantiasa diulang-ulang self talk selama 30 hari, maka kata-katanya itu akan mempengaruhi dan membentuk karakter baru dan menjadi manusia baru sesuai persepsi dan kata-kata yang diucapkan setiap saat, setiap waktu dalam waktu 30 hari karena kata dan fikirannya telah terinstal ulang dalam data based jiwanya.
Mengapa demikian, sebab manusia memiliki 1 trilliun sel dan setiap hari sel-sel manusia tersebut akan mati dan digantikan oleh sel-sel baru baik yang positif maupun yang negatif. Oleh karena itu, ketika kita mengaitkan kembali dan merujuk ajaran dan kurikulum Ramadhan untuk selalu berfikiran yang positif dan berkata yang positif, maka kita akan menjadi manusia muttaqin. Manusia yang saat dihardikpun, oleh ramadhan mengajarkan agar tetap mengatakan innii shooimun, atau aku sedang berpuasa. Maka, pada hari yang ke 30 orang yang membiasakan berfikir dan berkata yang positif, maka sel positif akan bertumbuh subur sesuai data based perilaku jiwa yang tenang dan kebiasaan selama berpuasa ramadhan.
Pembentukan jiwa yang tenang ini seharusnya menjadi tujuan utama, mengapa seseorang beragama. Oleh karenanya, beragama tidak untuk membesarkan akal dan ego, sehingga memunculkan kesombongan, merasa benar sendiri, merasa paling suci, sehingga akhirnya mudah mengkafir-kafirkan. Praktik beragama yang mudah mengkafirkan ini yang belakangan disebut dengan sikap takfiri yang menghinggapi sebagian umat Muslim.
Di kota-kota besar kita menyaksikan ideologi takfiri ini, yang menebarkan kebencian, tidak hanya kepada non-Muslim, tetapi juga kepada sesama Muslim yang berbeda paham. Mempraktikkan agama melalui budaya lokal dianggap bid’ah, padahal kita hanya mengamalkan budaya melalui kearifan masyarakat. Satu hal yang di dalam hukum Islam disebut urf (tradisi), yang boleh dijadikan sumber penerapan hukum. Hidup damai di negeri Pancasila disebut thaghut, bahkan kafir karena telah menerima sistem kenegaraan non-Islam. Padahal yang kita lakukan justru mendirikan negara yang di dasar negaranya, tauhid (Ketuhanan Yang Maha Esa), menjadi sila pertama.
Sikap takfiri ini jelas-jelas bukan bagian dari etos Muslim Nusantara, yang sejak awal mengedepankan karakter lembut, tidak merasa paling benar dan suci, toleran serta riang merayakan agama melalui kebudayaan. Dan berbagai karakter positif itu terbentuk, salah satunya melalui tasawuf. Puasa di bulan Ramadhan menjadi salah satu ritus untuk mengamalkan tasawuf yang sejak awal menjadi ciri khas dari keislaman di Nusantara.
Etos puasa yang melembutkan hati ini memang harus lebih dikedepankan dalam beragama. Sebab di dalam Islam, iman saja tidak cukup. Ia harus ditransformasikan menjadi ihsan. Yakni kesadaran keagamaan pada level batin, yang membuat kepribadian Muslim menjadi tenang bersama Allah sebagaimana penegasan al-Fajr: 27-30 tadi, serta menjadi penerang dan pemanis, dalam kehidupan umat manusia.