Revitalisasi Peran Keluarga Sebagai Benteng Pertama Terhadap Radikalisme
Tragedi bom yang melibatkan satu keluarga, bapak, ibu dan anak-anaknya belum lama ini membuat orang terperangah. Bagaimana mungkin orang tua tega mengajak anak-anaknya untuk melakukan tindakan bunuh diri. Masyarakat tidak habis pikir karena jika ditilik dari latar belakangnya, keluarga tersebut dari kalangan yang terpelajar dengan tingkat ekonomi yang cukup bagus. Keheranan masyarakat menjadi bergeser dengan memfokuskan pada keberadaan sang ibu. Banyak masyarakat yang mempertanyakan, Ibu yang bagaimanakah yang tega melibatkan anak-anaknya dalam tindakan terorisme. Dari berbagai pendapat yang beredar di masyarakat, sebagaian besar mempertanyakan peran ibu dalam tragedi tersebut, dan seolah-olah menafikkan keberadaan bapak. Pandangan masyarakat ini secara tidak langsung “mengkambinghitamkan” ibu (perempuan) pada terlibatnya anak-anak dalam kasus terorisme. Pandangan masyarakat tersebut juga dapat dimaknai bahwa masyarakat masih membebankan pendidikan keluarga hanya pada ibu (perempuan).
Pandangan masyarakat tersebut merupakan salah satu bentuk bias gender. Al-Qur’an menyebutkan dalam banyak ayat peran ayah dalam pendidian anak misalnya Q. Luqman : 13 yang menceritakan pesan Lukman al-Hakim terhadap sang putra dan Q.al-Baqarah : 132 yang mendeskripsikan wasiyat Nabi Ibrahim terhadap putra-putranya. Kedua ayat tersebut menjelaskan tanggungjawab dan peran seorang ayah dalam pembentukan keberagamaan putra-putrinya. Dalam ayat lain, Q. al- Tahrim: 5 peran dan tanggungjawab pendidikan dalam keluarga menjadi tanggung jawab individu-individu yang beriman.
Artinya, di dalam Islam pendidikan di dalam keluarga menjadi tanggung jawab bersama antara ibu dan ayah. Jadi jika dalam kasus bom bunuh diri yang dilakukan satu keluarga, masyarakat hanya mempermasalahkan “ibu yang dianggap tega” maka hal tersebut sangat mendiskriditkan keberadaan ibu (perempuan).
Pada prinsipnya, di dalam Islam pendidikan keluarga menjadi tangunggjawab bersama antara suami dan istri. Hal tersebut yang diakomodir dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Di dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dijelaskan bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Bunyi pasal tersebut secara tersurat memberi petunjuk bahwa keluarga yang bahagia akan dapat tercipta apabila dilaksanan berdasarkan ketentuan-ketentuan (petunjuk) Tuhan, sehingga secara tersirat dapat dimaknai bahwa keluarga merupakan wahana pertama untuk mendidik dan membesarkan anak-anaknya berdasarkan ketentuan-ketentuan Tuhan.
Sedangkan tanggung jawab terhadap pendidikan anak ada pada kedua orang tuanya. Antara ibu dan bapak mempunyai kewajiban dan hak yang sama terhadap anak-anaknya termasuk dalam hal pendidikannya. Sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 31 ayat (1) : Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. Bunyi ayat tersebut mensiratkan bahwa antara ibu dan bapak mempunyai hak dan kewajiban yang sama, termasuk dalam hal pendidikan terhadap anak-anaknya.
Peran penting kedua orang tua (ibu dan bapak) dalam membentuk kepribadian anak diungkapkan oleh Rasulullah saw dalam sebuah hadis populer “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orangtuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi” (muttafaq alaihi). Berdasarkan hadist tersebut dapat diketahui bahwa tanggung jawab mendidik dalam keluarga dibebankan kepada kedua orang tua, tidak hanya ibu atau bapak saja. Hadis ini juga menunjukkan pentingnya pendidikan keluarga dalam meletakkan dasar pembentukan kepribadian maupun karakter anak. Baik buruknya akhlak anak sangat ditentukan oleh pendidikan orang tua dalam keluarga. Sebagaimana sabda Rasulullah saw : “Tidak ada pemberian orang tua kepada anaknya yang lebih utama dari pada budi pekerti yang baik” (HR. Al Hakim)
Berbagai petunjuk dalam al-Qur’an dan hadis sebagaimana di atas menunjuk bahwa sesungguhnya cara termudah untuk menanggulangi radikalisme adalah melalui pendidikan dalam keluarga dan orang tua di mana ibu dan bapak memegang peran utama. Artinya jika orang tua dalam suatu keluarga berperan dalam pendidikan anak sebagaimana yang digariskan Islam maka radikalisme dapat ditanggulangi lebih dini.
Kontraradikalisme dapat dilakukan dengan cara menanamkan rasa nasionalisme atau cinta tanah air pada anak-anak sedini mungkin. Sedangkan pendidikan nasionalisme paling mudah dan efektif adalah melalui pendidikan keluarga. Keluarga merupakan sendi dasar dalam membangun suatu masyarakat, bangsa dan negara sebagaimana dalam Pasal 30 disebutkan “suami istri memikul kewajiban yang luhur menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat”. Oleh sebab itu, revitalisasi peran keluarga dalam pendidikan anak merupakan cara termudah untuk melawan radikalisme. Berdasarkan pada Pasal 30 tersebut dapat dikatakan bahwa keluarga merupakan benteng pertama untuk menanggulangi radikalisme.
Pada saat ini pemerintah sedang berupaya untuk melawan radikalisme dengan berbagai program antara lain dengan memberikan pendidikan bela negara pada organisasi-oganisasi kemasyarakatan. Program ini sangat bagus karena menumbuhkan kembali rasa cinta pada tanah air, rasa memiliki negeri ini, rasa bertanggungjawab pada keberlangsungan bangsa ini, akan tetapi biaya yang dibutuhkan program ini juga tidak sedikit. Oleh sebab itu harus diikuti dengan merevitalisasi peran keluarga dalam mendidik ana-anak agar sedini mungkin memiliki rasa nasionalisme yang tinggi dan keberagaamaan yang moderat sehingga tidak mudah terpapar radikalisme. Pendidikan dalam keluarga ini tidak memerlukan biaya besar dan lebih efektif karena menanamkan nilai pada anak-anak akan lebih mudah.
Harus pula ditanamkan pemahaman pada masyarakat bahwa pendidikan dalam keluarga merupakan tanggungjawab bersama antara ibu dan bapak, karena baik berdasarkan agama maupun undang-undang, bahwa yang bertanggung jawab dan berkewajiban mendidik adalah ibu dan bapak. Oleh sebab itu kewajiban menanamkan nasionalisme dan kontra radikalisme pada anak adalah kewajiban ibu dan bapak.