Loading...

Link & Aplikasi

    

PUASA: ANTARA THINKABLE DAN UNTHINKABLE Oleh : Ulfa Masamah

PUASA: ANTARA THINKABLE DAN UNTHINKABLE

Oleh : Ulfa Masamah*

Menemukan Makna Puasa

Puasa merupakan salah satu rukun Islam. Secara pemaknaan, puasa bisa dipahami dalam dua pengertian, yakni teosentris dan antroposentris. Puasa dalam makna teosentris merupakan suatu ibadah yang menahan diri untuk tidak makan dan minum mulai terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari, tetapi lebih dari itu, puasa juga mengandung pesan sosial (social massage) yang luhur. Puasa bukan hanya ibadah mahdhah yang hanya berorientasi vertikal (teosentris) tetapi juga horizontal (antroposentris). Pemaknaan puasa secara teosentris adalah bentuk ibadah wajib apabila menjalankan mendapatkan pahala dan dosa bagi yang meninggalkan. Pengertian puasa seperti ini belum mengarah pada hakikat atau pemaknaan yang kaffah.

Arkoun misalnya, menilai bahwa masih kuatnya pengaruh nalar teologis-bayani dalam pemaknaan agama (religion meaning), yakni pemusatan segala aktivitas dan persoalan apapun kepada Tuhan, sedangkan problem kemanusiaan cenderung terabaikan. Artinya, secara antroposentris puasa bukan sekedar ritual dalam kerangka fikih (Islamic law) yang berbicara dalam ranah hitam-putih, halal-haram, dan boleh-tidak boleh. Puasa merupakan sarana menumbuhkan kesadaran untuk melakukan pembacaan agama secara antroposentris yakni agama sebagai kemaslahatan manusia bukan sebaliknya.Pemaknaan puasa yang berpusat pada manusia sejalan dengan misi profetik para Nabi, yaitu pembebasan manusia dari segala bentuk hegemoni dan ketertindasan.Kehadiran Islam yang dibawa Rasulullah SAW dengan perangkat ritusnya ditujukan untuk pembebasan manusia atas dasar kemanusiaannya.

Puasa antara Thinkable dan Unthinkable

Islam sebagai agama rahmatan lil`alamin yang dengan syariatnya menampilkan misi liberatif bagi umat manusia. Liberatif merupakan semangat pembebasan; pembebasan dari dominasi, kemungkaran dan ketidakadilan sosial untuk mencapai kehidupan yang sejahtera. Semangat tersebut termanifestasi melalui simbol-simbol ritus keagamaan, termasuk didalamnya adalah puasa. Puasa adalah menahan dan mengendalikan diri dari segala perbuatan dehumanisasi yang bisa menurunkan kualitas bahkan membatalkan puasa. Walaupun pengendalian diri menuntut upaya personal, akan bermakna jika mampu memberikan implikasi pada kepentingan sosial. Persoalannya adalah,bagaimana puasasebagai bentuk pengendalian diri tersebut mampu mendorong pada pembebasan kemanusiaan?

Meminjam istilah Arkoun, ada dua term yang bisa digunakan untuk membaca nalar puasa, yaitu thinkable dan sesuatu itu tidak bisa dipikirkan (untihinkable). Pertama, dalam pengertian thinkable, puasa adalah menahan diri dengan niat dari seluruh yang membatalkan puasa secara syari` seperti makan, minum, bersetubuh, mulai dari terbit fajar hingga tenggelamnya matahari (QS. Al-Baqarah: 187). Standar puasa dengan pendekatan thinkable ini adalah fikih normatif, yaitu sah atau tidaknya, dan batal atau tidaknya, puasa yang bersifat `logosentrism`. Pemaknaan puasa menjadi pada area fikih, bersifat formal, dan sempit, hanya dipahami dengan tidak makan, minum, dan berhungan seksual di waktu siang hari. Dalam pemaknaan ini,puasa akan semakin jauh dari nilai fungsionalnya untuk menjadikan manusia bertaqwa `la`allakum tattaquun` (QS. Al-Baqarah: 183). Makna taqwa disini adalah taqwa dalam pengertian kesalehan individual seperti yang tercermin dalam perilaku kesehariannya jujur, amanah, rendah hati, sederhana, tawadhu`, dan lainnya, maupun kesalehan sosial. Nabi dalam konteks ini mengingatkan bahwa puasa mereka hanya akan mendapatkan rasa lapar dan haus saja, karena mereka tidak bisa menangkap esensi puasa itu sendiri.

Kedua, puasa dalam tinjauan unthinkable lebih banyak bicara pada makna yang jauh, esensi, dan meaning dari puasa itu sendiri. Rasyid Ridla menyatakan bahwa, makna atau hakikat puasa mencakup beberapa hal, yaitu 1). Tarbiyat al-Iradat, dimana puasa menjadi pendidikan untuk `meper` atau menahan/mengendalikan hawa nafsu atau keinginan yang negatif, sekaligus menggerakkan kemauan positif untuk terus berkembang dan meningkat. 2). Thariqat al-Malaikah, dengan puasa menjadikan manusia makhluk yang `sempurna` (insan kamil) karena mampu mengendalikan jiwanya agar tidak dikuasai hawa nafsunya yang bisa menjadikannya hamba yang dekat dengan Allah SWT melebihi malaikat. 3). Tarbiyat al-Ilahiyyat, puasa menjadi media pendidikan Allah SWT dalam rangka membimbing manusia agar menjadi hamba (`abd) yang taat sehingga mampu menghadirkan sifat-sifat Allah SWT dalam kehidupan sehari-hari, seperti berbuat adil, sabar, pemaaf, dan perbuatan lainnya. 4). Tazkiyat an-Nafs, puasa menjadi sarana untuk membersihkan hati manusia yang kotor karena dosa, baik kesalahan kepada Allah SWT maupun sesama manusia. Tujuan akhirnya adalah manusia memiliki jiwa yang suci atau tenang `nafs al-muthmainah` sehingga tidak mudah terombang ambing dalam menjalani kehidupan.

Mulai saat ini, penting sekiranya untuk menggeser nalar puasa kita, dari yang sekedar thinkable fiqhiyyah pada unthinkable esensi, yaitu penguatan karakter individu kearah kreativitas individual dan sosial. Karena itu, puasa seharusnya menjadi pemrakarsa transformasi sosial. Puasa juga bukan merupakan representasi spiritualitas perkotaan yang menutupi kesadaran untuk membebaskan belenggu material, dimana puasa berkedudukan sebagai antithesanya; puasa sebagai alat analisis diri atas berbagai realitas, dimana sebuah realitas tidak dinafikkan lagi merupakan hasil dari hasrat-hasrat materialistic (material-temporal) yang diangap sebagai ilusi dan pseudo reality. Hal ini diperkuat dengan statement Piliang (2011) yang menyatakan bahwa hasrat yang tidak bisa ditinggalkan dalam bulan puasa atau pun sesudahnya hanya akan mengiring manusia pada culture of narcissism, yakni suatu kondisi dimana manusia berbondong-bondong mencari ketenaran, popularitas dan publisitas semata.

Suatu pertanyaan dimana pada ukuran terendah masyarakat postmodern masa kini, yaitu perjuangan seperti dan dalam rangka apakahyang selama ini kita lakukan melalui puasa dengan penuh lapar dan haus? Apakah haus dan lapar kita hanya sebagai ritual istirahat dari makan dan minum sembari menghormati ajaran agama Islam? Atau lebih luasnya siapakah yang kita bebaskan belenggu kemanusiannya dari jeratan kemiskinan dan hegemoni lainnya?

Puasa dan Spirit Kemanusiaan

Puasa adalah bentuk evaluasi sekaligus refleksi diri untuk perbaikan hubungan, hubungan manusia dengan Tuhan (habl min Allah), manusia dengan manusia (habl min an-nas), maupun manusia dengan alam (habl min alam). Apabila kondisi ini tidak tercapai, maka pesan puasa akan terasa pincang dan dapat berakibat pada disorientasi visi agama dalam menjalankan misi sosialnya. Artinya, puasa yang kita lakukan harus membekas dalam bentuk kesalehan sosial yang tercermin dalam kedermawanan, tanggungjawab sosial, perhatian, simpati, empati, dan memiliki sense of responsibility serta sense of belonging terhadap persoalan kemanusiaan yang ada.

Islam hadir untuk mengangkat derajat, harkat dan martabat serta membela hak-hak asasi manusia. Dengan demikian, Islam tidak akan diam ketika dihadapkan pada realitas yang timpang. Melalui puasa umat Islam diharapkan dapat terus berlatih untuk berempati pada sesamanya. Sehingga, dimemsi kemanusiaan dalam konteks Islam merupakan esensi penting yang harus terus diupayakan. Puasa juga harus mampu menggugah kesadaran progressif dalam beragama; keluar dari belenggu kejumudan menuju nur ruhaniyah. Orang yang berpuasa tidak akan tega melihat tetangganya tidak mampu berbuka puasa dalam kelaparan, inilah salah satu upaya pembebasan dari jerat kemiskinan. Karena itu, dengan merasakan lapar berpuasa selama sebulan akan mengajarkan bahwa di sekeliling kita masih banyak orang yang tidak makan, bukan hanya di siang hari tapi siang dan malam, bukan hanya sebulan namun sepanjang tahun. Puasa mengajarkan pengendalian diri; mata untuk melihat realitas sosial yang timpang, telinga untuk mendengar jeritan kaum mustadh`afin, mulut untuk berkata-kata yang baik, hati untuk selalu berdzikir kepada Allah SWT. Karena itu, puasa adalah pembebasan. Pembebasaan yang dimaksudkan disini adalah pembebasan dari segala belenggu dan kooptasi; pembebasan untuk cita-cita luhur kemanusiaan.

Berdasarkan berbagai pemaparan tersebut, puasa bukanlah sekedar agenda ritual-teosentris, tetapi sebuah proses penumbuhan kesadaran untuk melakukan pembacaan agama dalam perspektif sosial (social perspective).Karena itu, puasa bukan hanya menjadi media pelatihan dan penggemblengan diri bagi setiap muslim agar memiliki kepekaan dan solidaritas sosial yang tinggi, tetapi juga untuk memperbaiki tatanan moral-sosial bagi kehidupan umat muslim di masa yang akan datang.Sudahseharusnya pesan moral kemanusiaan pada ritual puasa mampu direfleksikan di tengah kehidupan nyata. Tanpa itu, puasa hanya prosesi ritual-individu dan normatif fiqhiyah, puasa hanyalah sesuatu yang ada pada ranah thinkable, serta tidak bergeser pada area yang lebih luas, yaitu unthinkable.

* Dosen Tarbiyah STAIN Kudus
Share this Post: