Kritisi Karya Ulama Perempuan di Hari Kartini: Syi’ir Muslimah Nyai Wanifah Kudus, Masih Relevan d
Banyak yang belum mengetahui terkait syi’ir Muslimah yang dibuat oleh Simbah Nyai Wanifah Kudus. Untuk mengenalkan kemasyarakat luas, Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) LPPM IAIN Kudus menyelenggarakan kegiatan Webinar Festival Ramadhan PSGA 2021 via Zoom, dengan tema: Ngaji Kehidupan dari Biografi Ulama Perempuan Bedah Karya dan Kisah Simbah Nyai Wanifah Kudus (Ibunda Rama KH. Arwani Amin) #Edisi 2.
Sebagai narasumber dalam kegiatan H. Ahmad Hamdani Hasanuddin, Lc., M.A. (Dosen IAIN Kudus dan Ketua MUI Kudus) menerangkan asal usul untaian syi’ir yang digubah ibu nyai Wanifah didapatkannya dari KH Sya’roni Ahmadi (Kudus), dalam kegiatan batsul masail di Menara Kudus pada khoul Mbah Arwani.
“Syi’ir yang ditulis oleh Simbah Nyai Wanifah ini, dibuat saat zaman penjajahan masih berlangsung,” terang beliau. (Rabu, 21 April 2021)
Lebih lanjut beliau menerangkan, hadirnya teks syi’ir tersebut di dapat oleh Mbah Sya’roni (KH. Sya’roni Ahmadi) dari Mbah Arwani saat masih sugeng (hidup) tempo dulu. Teks syi’ir tersebut telah ditulis ulang dengan bahasa Jawa, aksara Pegon dan masih bisa dibaca sampai saat ini.
“Sebagian besar isi dari syi’ir yang ada dalam buku itu secara garis besar membahas tentang akhlak bagi perempuan harus berbudi pekerti, bagaimana seorang perempuan harus berada di tengah sosial, dan bagaimana perempuan menjadi seorang istri,” jelas beliau. Lanjut beliau, pesan-pesan dalam syi’ir tersebut sampai saat ini masih relevan.
Pemantik diskusi dalam webinar, H. Nur Said, S. Ag., MA., M.Ag. (Pegiatan Gender dan Media IAIN Kudus) yang menuliskan kiprah Simbah Nyai Wanifah Kudus melalui syi’ir yang dipublikasikan di jurnal Palatren pada tahun 2015. Beliau menjelaskan, Simbah Nyai Wanifah memiliki suami yang bernama H. Amin Said, dan memiliki 12 orang anak, yang salah satunya menjadi ulama besar yaitu, Mbah Arwani Amin.
“Hadirnya syi’ir Muslimah ini menjadi pembelajaran bagi perempuan sekarang, karena apa yang ada di setiap pembasan (syi’ir) masih bisa menjadi pegangan hidup,” jelas beliau.
Nur Said memaparkan, ada 11 kategori (pengelompokkan) yang ada di syi’ir yaitu; (1) Pentingnya Menuntut Ilmu; (2) Bahaya menjadi perempuan bodoh; (3) Pentingnya belajar bagi perempuan usia dini; (4) Etika berhias diri dalam relasi social; (5) Bahaya Materialisme; (6) Relasi Suami Istri; (7) Dari rumah menggapai surga; (8) Waspada tipu daya setan; (9) Hindari perselingkuhan dan kemungkaran; (10) Menutup aurat; (11) Bakti kepada Orang Tua.
Dalam isi Syi’ir Muslimat dibuka dengan Syi’ir, Iki syi’iran nasehat wadon (Syi’iran ini nasihat untuk perempuan); Kanggo angerekso bagusi lakon (untuk menjaga-memperbaiki perilaku), tak luput pentingnya menuntut ilmu dituliskan, dadi wong wadon luruho ilmu (Jadi perempuan carilah ilmu); Perabote awak nganti ketemu (Sampai menemukan jati diri). Tak sebatas menuntut ilmu, relasi suami istri dalam berumahtangga juga disampaikan, wong laki rabi becik kang akur (Hidup berumah tangga harus rukun); akhire bisa makmur lan subur (Agar bisa makmur dan subur). “Syi’ir Muslimah menjadi pelengkap bagi karya Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang. Bahkan pada perspektif tertentu Syi’ir Muslimah ini lebih bersifat etika terapan bagi kaum dalam kehidupan keberagamaan yang selalu berubah”, demikian penjelasan Nur Said.
Dr. Nur Mahmudah (Ketua PSGA) menjelaskan, sosok Simbah Nyai Wanifah Kudus memiliki karya yang membahas tentang sikap sosial perempuan, yang bisa menjadi pedoman dalam kehidupan. Masih banyak ulama-ulama perempuan yang memiliki karya yang masih belum terpublikasikan atau diketahui oleh masyarakat. Tugas generasi saat ini untuk menjaga karya dengan cara mempelajari dan mengamalkannya. (Salam)