Ngaji Budaya Menjadi Pijakan Tim KKN IK IAIN Kudus 2022 Dalam Menelisik Kembali Nilai Moderasi Beragama Desa Padurenan
Ngaji budaya yang diselenggarakan oleh tim KKN IAIN Kudus mengusung tema "penguatan moderasi beragama sebagai refleksi sejarah dan budaya desa Padurenan di era millenial". Menurut Alfa selaku ketua panitia, bahwa alasan pengambilan tema ini adalah untuk mengajarkan sejarah dan budaya kepada pemuda pemudi desa Padurenan agar tidak ditelan oleh zaman.
“Tujuan acara ngaji budaya ini untuk mengingat kembali bagaimana sejarah awal mulanya desa Padurenan, karena tidak banyak anak-anak muda sekarang yang mengetahui tentang sejarah desanya sendiri, sehingga perlu adanya ngaji budaya agar menambah wawasan mereka. Selain itu, dengan mengetahui sejarahnya maka mereka akan tahu mengenai budaya-budaya yang ada dalam desa Padurenan sehingga dapat dilestarikan pada generasi millenial dan generasi-generasi berikutnya,” Ucapnya.
Acara ngaji budaya dilaksanakan pada Minggu (25/09/22) pukul 20.00-23.00 WIB yang bertempat di aula balai desa Padurenan. Acara tersebut dihadiri oleh 2 narasumber yaitu KH. Wafiy Baq (Tokoh agama desa Padurenan) dan Dianing Pra Fitri (DPL KKN IAIN Kudus). Acara tersebut diikuti oleh teman-teman dari karang taruna dan rekan rekanita IPNU IPPNU desa Padurenan.
Nama desa Padurenan berasal dari 2 kata yaitu padu dan leren. Setiap permasalahan agama yang banyak diperdebatkan atau dibicarakan (DIPADU) oleh masyarakat luar desa yang tidak bisa terjawab dan tidak bisa dipecahkan, bila mana dibawa ke desa Padurenan yang terdapat ulama' Mbah Muhammad Syarif, akhirnya masalah tersebut akan mudah terpecahkan dan terjawab sehingga masalah agama tersebut bisa berhenti (LEREN). Dari sinilah akhirnya muncul sebuah nama yang telah diabadikan untuk nama desa Padurenan. Adapun budaya yang masih dilestarikan sampai sekarang yaitu budaya mauludan kejawen yang hanya terdapat dalam desa Padurenan. Mauludan kejawen merupakan seni sholawatan yang menggunakan nada yang panjang dan tinggi seperti yang ada di Madura, karena merupakan peninggalan budaya dari Mbah Syarif yang berasal dari madura. Mauludan kejawen ini terdapat nilai-nilai moderasi beragama di dalamnya, yaitu bertujuan untuk memperhalus perasaan seseorang dan mengandung unsur kelembutan dalam nurani masyarakat sehingga tidak menimbulkan hal hal yang mendorong untuk bermain kasar seperti adanya konflik masyarakat dan lainnya.
“Mauludan kejawen ini merupakan kebudayan yang ada di desa Padurenan saja, tidak ditemukan di desa lainnya. Mauludan kejawen sangat unik karena cengkok sholawatannya yang begitu keras dan melengking panjang, serta dalam pelaksanaannya yang bisa sampai larut malam,” tutur Wafiy.
Oleh karena itu, agar budaya mauludan kejawen tidak ditelan oleh masa begitu saja, maka perlu adanya pelatihan sejak dini pada generasi generasi muda agar tetap dilestarikan dan dikembangkan lagi.
Moderasi Beragama merupakan cara kita dalam beragama. Artinya bersifat tengah-tengah dengan tidak memihak blok kanan (idealis) maupun blok kiri (liberal) yang mengutamakan kebebasan dengan pembenaran pada akal.
“Moderasi bearagama diartikan sebagai cara kita beragama. Artinya saling toleransi terhadap berbagai agama dengan bersikap tengah-tengah yaitu moderat. Istilah lainnya yaitu wasathan artinya tengah-tengah. Maksudnya tidak condong ke kanan maupun kiri,” tutur Dianing Pra Fitri.
Moderasi beragama itu bukan agamanya yang dimoderasi melainkan cara beragama kita yang perlu dimoderasi. Karena kehidupan dunia akan terus maju dan berkembang, tidak mungkin akan selalu tetap apalagi mengalami kemunduran.
Penulis: Naila Kholishotul Luthfiyah