Link & Aplikasi

    

Callig Down: Mempersoalkan Surat Edaran Menteri Agama No. 05 Tahun 2022

Oleh: Dr. Nor Hadi, SE., M.Si., Akt,. CA., CRA., CARP.

 

Calling down, itulah kata bijak yang patut diungkapkan siapa saja elemen bangsa ini, baik secara individu maupun kelompok dalam mensikapi hiru-birunya media sosial dan pemberitaan  atas dikeluarkanya Surat Edaran  Menteri Agama Republik Indonesia No. 05 Tahun  2022, terkait penggunaan pengeras suara di masjid dan mushalla. Mengapa demikian, sesungguhnya keluarnya Surat Edaran Menteri Agama No. 05 tahun 2022 tersebut bukan barang baru, melainkan pernah ada sejak lama yaitu Instruksi Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam No.KEP/D/101/78 tentang Tuntunan Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musalla, tertanggal 17 Juli 1978. Dirjen Bimas Islam Drs HA Kafrawi, MA, pada masa Menteri Agama saat itu yaitu Alamsyah Ratu Perwiranegara 44 Tahun yang lalu semasa orde baru sudah mengeluarkan surat instruksi dan himbauan. Artinya, berkaitan dengan pembatasan penggunaan pengeras suara di rumah peribadatan seperti di masjid dan mushalla sesungguhnya bukan baru melainkan telah ada sejak lama. 

Perlu disadari bahwa si’arnya agama dengan menyuarakan pada masyarakat sangat dibutuhkan, misalkan pengunaan TOA untuk azan, membaca al-Quran, dan beribadah sejenisnya. Kegiatan tersebut merupakan upaya mengamalkan perintah sang-Khaliq, juga mengandung ajakan bagi pemeluknya untuk menyegerakan menjalankan ibadah. Kendati demikian, ajakan sebagaimana dalam azan yang menggunakan TOA hendaknya memperhatikan kondisi lingkungan. Perlu diperhatikan bahwa menyuarakan perintah Tuhan, perlu juga memperhatikan kondisi social dan lingkungan, jangan sampai mengganggu misalnya  bagi mereka yang sedang sakit, sedang beristirahat dan sejenisnya. Terlebih, pada lingkungan masjid dimana struktur masyarakatnya yang majemuk, bertempat tinggal juga warga masyarakat yang memeluk agama lain, maka menjalankan ibadah yang merupakan ekpresi ketuhanan, justru jangan sampai mengganggu lingkungan sekitar. Yang pasti, menjalankan ibadah yang syarat dengan kebajikan, janganlah kemudian mengganggu lainnya. Akhirnya,  justru malah memunculkan rasa kurang simpati, intoleransi, mengganggu kehormanisan, mengganggu perasaan bagi pemeluk agama lain. 

Spirit moderasi beragama, toleransi umat beragama, saling menghargai serta menghormati yang terkandung dalam SE No. 5 Tahun 2022 harus kita hargai. Surat Edaran yang kebetulan secara langsung bersinggungan dengan kaum muslim, yang oleh sebagiannya dianggap masuk wilayah sensitif  hendaknya tidak ditanggapi dengan  berlebihan. Bersikap kritis itu bagus, untuk perbaikan dan saling mengingatkan sebagai bentuk social control. Namun, bersikap provokatif bahkan sampai mengarah kepada bullying pada salah satu pihak tidak perlu dilakukan. Oleh karena, bersikap arif, proporsional dan menghargai terhadap muncul Surat Edaran tersebut adalah sikap yang elegan. Perbedaan atau ketidak-kecocokokan tidak perlu diperbesar, apalagi SE No. 05 Tahun 2022 tersebut hadir didasarkan dengan spirit untuk  menjaga moderasi beragama serta menjujung tinggi Kebinekaan. Kita perlu waspada pada para pihak yang mencoba memecah belah bangsa, suka provolatif dan menyusup kesemua lini terutama lewat media sosial dengn content-content yang kurang produktif. Perbedaan adalah sunatullah, dan pasti ada, dan selalu muncul. Kita sebaiknya bisa menerima perbedaan pendapat dan keragaman dengan hati yang terbuka, kritis  dan dewasa. Jangan kita berharap dunia ini berjalan bak paduan suara, yang itu ada hanya dilogika 

Sudahi polemik Azan VS gonggongan anjing. 

Kita perlu cermat serta mampu memahami secara jernih tentang spirit hadirnya Surat Edaran No. 05 Tahun 2022. Menjadi kurang bijak apabila kita belum memahami makna, isi dan spirit lahirnya Surat Edaran tersebut kemudian  melakukan judgment yang kurang produktif. Kondisi semakin kurang bijak bila baru mendengan dari medsos yang belum tentu benar atau valid bahkan potensi diplintir oleh sebagian orang yang tidak bertanggung jawab, lantas kita ikut gaduh, dan bersifat negative thinking. Itu menunjukkan bahwa diri kita belum dewasa, dan mudah terbawa arus. Kondisi lebih gegap gempita ketika bapak Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengeluarkan statemen dan memberikan klarifikasi di Pekanbaru, yang beliau sama sekali tidak membandingkan antara gonggongan anjing dengan suara azan. Ahirnya, kondisi tambah panas, setelah di media sosial banyak yang membuat content yang isinya cenderung negatif, melakukan ujaran-ujaran kebencian, dan penggunaan bahasa yang kurang sepantasnya. Pada hal, statemenya jika ada salahnya secara bahasa dan muatan teah diklarifisi dengan clear dan didalamnya tidak ada muatan sara dan menyakiti pihak lain. Namun, sebagian masyarakat masih ada yang merasa tersakiti karena  memang masalah ini cukup sensitif. 

Ada bagian dari  masyarakat kita yang mungkin memaknai pernyataan tersebut secara berbeda, tetapi seharusnya perbedaan sudah selesai adanya klarifikasi dari pembuat statement. Kita patut waspada dan hati-hati jika pihak yang sengaja membawa masalah ini ke sentimen pribadi atau golongan atau bahkan karena tahun 2022 merupakan tahun politik, bisa jadi ada yang membawa kearah komiditi politik dengan mengatasnakan agama. Kita tidak perlu larut dalam perdebatan yang berkepanjangan yang pada akibatnya justru dapat memicu memecah-belah diantara kita dan sengaja membawa kearah dis-integrasi. 

Debat kusir soal gonggongan anjing justru akan melupakan subtansi dan spirit Surat Edaran yaitu moderasi beragama yang telah lama kita nantikan kehadiranya. Cukup dan hentikan polemik sampai disini, terlalu banyak urusan bangsa yang harus kita selesaikan  bersama, karena memang spirit yang diusung hanya pengaturan penegeras suara (TOA) dan tidak untuk meniadakan azan atau ibadah sejenisnya. Sebagai rujukan dan illustrasi cerita Abu bakar dan Umar mesipun tidak sama namun ada kemiripan pola. Suatu ketika Rasulullah SAW  mendapati Abu Bakar sedang berzikir dengan suara yang lirih. Lantas, Rasulullah SAW bertanya, “Hai Abu Bakar mengapa kau berzikir dengan suara yang lirih…., lantas Abu Bakar menjawab, Ya Rasulullah SAW…..saya sungguh malu kepada Allah SWT zat yang maha mendengar, jika harus berzikir dengan suara yang keras”. Mendengan jawaban Abu Bakar itu, Rasulullah SAW pun tidak menyalahkanya. Hal itu sama ketika Rasulullah SAW mendapati Umar Bin Khattab sedang berzikir tetapi dilakukan dengan suara yang keras. Lantas Rasulullah  SAW bertanya kepada Umar” Hai Umar, mengapa kau berzikir dengan suara yang keras”. Mendengan pertanya Rasulullah SAW, Umar menjawab “Ya Rasulullah SAW, saya berzikir dengan suara keras agar supaya saya tidak  mengantuk”. Mendengar jawaban itu Rasulullah SAW tidak menyalahan Umar bin Khottab, kedua tetap saja berzikir sementara Rasulullah SAW tidak menyalahkanya. Mencermati sikap Rasulullah SAW tersebut sungguh tidak benar kita memperbincangkan Surat Edaran Menteri Agama tersebut. Munculnya Surat Edaran tersebut tidak lain adalah untuk mengatur suara TOA di tempat ibadah, tidak bermaksud untuk melarangnya. Alangkah eloknya jika kita menjaankan ibadah penuh dengan kebajikan, tetapi pada saat yang sama tidak mengganggu ketegnan pihak lain. 

 

 

 

 

 

 

 

Share this Post: