Puasa Sempurna Menata Peradaban Manusia Paripurna
Oleh Muhaimin
Ketika pertanyaan kritis tentang puasa Ramadlan diajukan, sudahkah puasa Ramadlan berhasil mencetak tatanan kehidupan ideal melalui lahirnya manusia-manusia unggul dan paripurna? Bukankah semua kajian dan teori telah menyatakan puasa adalah paket lengkap untuk memperbaiki kualitas kehidupan jasmani dan rohani secara total dan menyeluruh? Bahkan sampai ada teori yang berhasil menjelaskan tentang kenapa bilangan puasa Ramadlan harus satu bulan atau di sekitar 29-30 hari, dan jawabannya adalah jumlah hari itu menjadi waktu ideal untuk memutus kebiasaan negatif lama dan mengisinya dengan kebiasan baru yang lebih baik. Ketika jawabannya negatif atau masih belum terwujud, maka dimana letak kesalahan sesungguhnya?
Menjawab pertanyaan di atas, harus dimulai dengan satu asumsi, bahwa harus dibedakan antara puasa dalam dimensi normatifitas-idealnya, dan puasa dalam dimensi historisitas-sosiologisnya. Puasa sebagai sebuah doktrin ibadah mahdlah dan bersumber dari Allah, harus diyakini kebenarannya, tidak mungkin salah, dan jika diikuti pasti berhasil. Namun puasa ketika difahami, dihayati, dan dilakukan oleh umat Islam, dimensi historis faktualnya pasti juga berbeda beda. Demikian itu tergantung masing-masing individu dan segenap faktor yang mempengaruhinya.
Puasa, sebagaimana yang dinyatakan lagsung oleh Allah dalam salah satu riwayat hadits “setiap amalan kebaikan yang dilakukan oleh manusia akan dilipatgandakan dengan sepuluh kebaikan yang semisal hingga tujuh ratus kali lipat. Allah SWT berfirman (yang artinya) “kecuali amalan puasa. Amalan puasa tersebut adalah untu-Ku. Aku sendiri yang akan membalasnya” (HR.Muslim). Hadits ini menempatkan ibadah puasa sangat spesial, karena pahalanya tidak diikutkan ke dalam mekanisme umum, yakni satu kebaikan akan dibalas dengan sepuluh sampai tujuh ratus kelipatannya. Namun, pahala dan balasannya akan langsung diurus dan diberikan oleh Allah sendiri. Posisi spesial ini juga harus diyakini bukan merupakan cek kosong yang tidak memiliki makna apa-apa. Allah pasti telah menformat sedemikian rupa untuk menservice hardware dan software manusia melalui mekanisme ini. Puasa menjadi paket pendidikan lengkap yang meliputi empat aspek manusia; aspek jasadiyah, ruhiyyah, dan aqliyyah, dan bahkan maliyyah manusia. Puasa dengan paket komplitnya menjanjikan munculnya pribadi yang tercerahkan mental spiritual, ketajaman batin, kesehatan badan paripurna, dan kecerdasan intelektual yang membahana. Puasa Ramadlan juga tidak hanya berlangsung satu dua kali, namun menjadi progam rutin tahunan. Mestinya dari waktu ke waktu, kualitas dan grade tatanan peradaban umat Islam akan semakin meningkat.
Membicarakan hikmah puasa, seringkali dilihat dari sudut pandang keberhasilannya dan iming-iming pahalanya yang super wah. Jarang ada satu paparan yang mengeksplorasi faktor kegagalannya. Padahal, menjadi mendesak untuk terwujudnya - kalau dilihat dari dampak ramadlan - tatanan dan peradaban baru yng muncul dari umat Islam.
Beragama/berpuasa atau melaksanakan ajaran agama/puasa, secara ideal harus melewati empat tahapan; iman, memahami, Islam dan ihsan, dan menghayati sinar hikmah puasa sehingga dapat mewujud dalam perilaku individual dan tataran interaksi sosial sekaligus. Ketika menerima perintah puasa, maka tanpa ragu menerima dan meyakini bahwa puasa adalah cara Tuhan menuntun agar manusia selalu dalam kesejahteraan, kedamaian, dan kebahagiaan. Tanpa bertanya dan mempertanyakan, kenapa diperintah untuk melakukan sesuatu yang berat secara fisik dan seolah di luar kemampuan manusia. Selanjutnya, proses mengetahui bagaimana cara terbaik agar bisa melakukannya secara baik dan paripurna. Sebagai sebuah perintah yang bertujuan, tentu mempunyai kriteria, syarat, rukun, batasan-batasan yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh. Pelaku harus sadar bahwa melakukan perintah dengan mengikuti petunjuk tentu menjadi faktor dominan dalam memperoleh keberhasilan. Ketika aspek kesiapan mental dan pengetahuan melakukanya sudah siap, baru terjun ke tahap berikutnya, yaitu melaksanakannya dengn maksimal, bukan hanya sekedar penggugur kewajiban. Puasa minimalis adalah puasa dengan kesadaran minimal yakni yang penting bisa mengendalikan diri dari nafsu makan, minum, dan seks. Yang berpuasa hanya sebagian dari organ tubuh dan organ batin malah sama sekali tidak. Puasa dengan model ini, hasilnya juga pasti minimalis, hanya akan melahirkan perubahan positif dalam metabolisme tubuh. Badan semakin sehat dan aman dari penyakit. Dalam waktu yang sama belum tentu ada perubahan perilaku individual dan sosial yang lebih baik. Puasa level kedua, yakni puasa yang naik kelas, yakni menahan diri agar seluruh anggota badan tidak melakukan hal-hal yang negatif dan diganti dengan aktifitas yang positif. Dua hal ini berjalan secara simultan, tidak mengerjakan yang dilarang dan diganti dengan yang diperintah dan dianjurkan. Level tertinggi, yakni yang ditahan dan dikendalikan itu tidak hanya perut, kemaluan, seluruh anggota badan, tapi juga mengendalikan isi hati dari yang selain Allah. Berpuasa dengan selalu menghayati kehadiran Allah. Hati terus digerakkan dan diisi dengan kehadiran Allah, membersihkan batin untuk selalu berprasangka positif kepada Allah dan sesama makhluk. Berpuasa dengan menghadirkan rahasia tanda-tanda kebesaran Allah baik yang dihadirkan melalui firman-Nya maupun yang dihadirkan melalui alam semesta ini. Hati yang selama 24 jam dalam sebulan penuh diisi dengan semua yang bernilai kebaikan dan dibersihkan dari segala macam kotoran. Puasa yang dapat merangkum aspek jasadiyah, aqliyah, ruhiyyah, dan maliyyah sekaligus dalam satu ritme gerak yang cantik, tentu akan menghasilkan individu unggul yang sempurna dan paripurna; cerdas intelektual, emosional, dan spiritual, dan dengannya akan lahir peradaban baru yang muncul di tengah-tengah umat Is