Puasa dan Keikhlasan Hati Kepada Allah
Oleh Dr. H. Masrukhin, S.Ag., M.Pd.
Puasa merupakan salah satu kegiatan ibadah yang didasarkan pada tiga aspek yaitu Ilmu, amal dan ikhlash. Ketiga aspek tersebut tidak bisa dipisah-pisahkan, jika kita ingin ibadah puasa kita diterima oleh Allah Swt., sebab Islam agama yang ajaran-ajarannya bukan sekedar pengertian atau teori tanpa pelaksanaan atau implementasi dalam hidup dan kehidupan sehari-hari, disertai dengan keikhlasan niat.
Islam jika diambilkan dari kata “sallama” berarti ada dua arti yaitu (1) menyerahkan diri atau (2) memelihara. Pertama, menyerahkan diri dengan segala ketulusan hati dan taat lahir batin terhadap Dzat yang menciptakan firman Allah pada surah Al-Bayyinah ayat 5 yang artinya “Tidaklah, mereka diperintahkan kecualit hanya menyembah kepada Allah, mengikhlaskan semata hanya untuk-Nya agama sesempurnanya, dan mendirikan shalat serta mengeluarkan zakat. Itulah Islam agama tegak kokoh (lurus)”.(QS. Al-Bayyinah/98:5)
Pada ayat tersebut diatas jelaslah bahwa : seorang Muslim harus mengetahui tugas kewajibannya yaitu mengabdi kepada Tuhannya, hal ini ia disebut telah berilmu. Kemudian jika ia melaksanakan tugas kewajibannya sebagai seorang Muslim, maka ia disebut orang yang mengamalkan ilmunya, dan akhirnya agar supaya pelaksanaan tugas kewajiban tersebut diterima oleh Allah, maka ia dituntut keikhlasan didalam niatnya tanpa pamrih suatu apapun, semata hanya karena mengharap keridlaan dari Allah Swt.
Kedua, memelihara diri. Islam berarti memelihara diri dari segala bencana atau kebinasaan, baik kebinasan di dunia atau di akhirat nanti. Oleh kerana itu manusia yang belum Islam, berarti belum sanggup memelihara diri dari kebinasaan dan penderitaan, sebab ia belum mengerti hakekat hidupnya, atau lazim disebut belum berilmu dan belum pula melaksanakan tuga kewajibannya sebagai makhluk Tuhan (Tugas kewajibannya), yaitu mengabdi kepada Dzat yang menciptakannya dan menciptakan segala sesuatu yang terwujud di alam semesta ini. Dalam hal ini tepat hadis Rasulullah yang bersabda yang artinya “setiap manusia pasti binasa kecuali orang yang berilmu, setiap yang berilmu juga binasa kecuali orang yang mengamalkan ilmunya, setiap pengamal ilmupun rusak binasa kecuali orang yang ikhlas niatnya” (Al hadist).
Sesudah kita mengetahui hubungan ilmu, amal dan ikhlas. Faktor pertama yang harus dimiliki oleh seorang muslim adalah keikhlasan, sebab ikhlas sebagai penentu amal diterima atau tidaknya, untuk itu setiap Muslim wajib memiliki keikhlasan dalam beramal, jika tidak maka jangan harap tegak terlaksana ajaran Islam dengan terhormat serta disegani bagi pemeluknya.
Puasa di bulan suci ramadhan merupakan momentum yang sangat penting untuk membangun pribadi muslim yang memiliki keikhlasan hati kepada Allah Swt dalam segala aktivitas kehidupan berdasarkan pada ketiga aspek ilmu, amal dan ikhlas. Seseorang yang beribadah Puasa didasarkan pada nilai keikhlasan dalam hati semata-mata mencari ridlo Allah Swt. akan mendapatkan pahala tersendiri dihadapan Allah Swt. sebagaimana nabi telah bersabda “Setiap amalan kebaikan yang dilakukan oleh manusia akan dilipatgandakan dengan sepuluh kebaikan yang semisal hingga tujuh ratus kali lipat. Allah Ta`ala berfirman (yang artinya), “Kecuali amalan puasa. Amalan puasa tersebut adalah untuk-Ku. Aku sendiri yang akan membalasnya. Disebabkan dia telah meninggalkan syahwat dan makanan karena-Ku. Bagi orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kebahagiaan yaitu kebahagiaan ketika dia berbuka dan kebahagiaan ketika berjumpa dengan Rabbnya. Sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada bau minyak kasturi.” (HR. Bukhari no. 1904, 5927 dan Muslim no. 1151).
Pentingnya Membangun Keikhlasan hati kepada Allah
Setiap muslim hendaknya berlatih diri dalam kerangka membangun pribadi-pribadi yang ikhlas dalam beribadah kepada Allah Swt. sebagaimana digambarkan oleh Al-Fudhail Ibn `Iyadh berkata kepada seorang pria. “Kali ini aku akan memberitahumu sebuah kalimat yang lebih baik dari pada dunia dan seisinya : Demi Allah, pengetahuan-Nya darimu akan mengeluarkan manusia dari hatimu, hingga tidak ada tempat sedikitpun di dalamnya selain untuk-Nya. Maka tidaklah kamu meminta sesuatu kepada-Nya kecuali Dia akan memberimu”.
Ibnu `Athaillah al-Sakandari menyatakan, “Diantara yang pernah kami uji lalu kami buktikan adalah siapapun yang ingin memenuhi kebutuhannya dan menolak musibahnya, maka kembalikan urusannya kepada Allah sebelum diketahui oleh orang lain. Sebab seperti itulah kebiasaan Allah dengan hamba yang bergantung kepada-Nya. Lakukanlah hal itu sebab ia adalah jalan keluar yang terdekat.
Hal serupa juga telah ditunjukkan oleh Rasulullah saw. sewaktu itu berbincang dengan Ibnu `Abbas. Kala itu beliau berkata, “Wahai pemuda, aku akan mengajarimu beberapa kalimat. Peliharalah kalimat itu, niscaya engkau dipelihara oleh Allah Swt. Jagalah Allah, niscaya Allah menjagamu, menghadaplah kepada Allah niscaya engkau akan menemukan-Nya menghadap kepadamu. Jika engkau meminta, maka mintalah kepada Allah. Jika meminta pertolongan maka mintalah pertolongan kepada-Nya. Ketahuilah bahwa umat ini jika semuannya berkumpul untuk memberikan manfaat kepadamu dengan sesuatu, niscaya mereka tidak akan mampu melakukannya kecuali sesautu itu sudah dituliskan Allah untukmu. Begitu pula jika mereka semua berkumpul untuk mencelakakanmu dengan sesuatu, maka mereka tidak akan mampu melakukannya kecuali sesuatu itu sudah dituliskan Allah untukmu kemudian kalam-kalam-Nya diangkat dan catatan-Nya kering”.
Artinya, ketika engkau memohon kesembuhan maka mintalah kepada Allah dengan hatimu meskipun engkau pergi ke dokter. Begitu pula ketika engkau mencari rezeki, mintalah kepada Allah meskipun engkau sudah pergi ke tempat kerjamu atau ke tempat dagangmu. Demikian halnya ketika mengembalikan hakmu yang dirampas, mintalah kepada Allah meskipun engkau pergi kepada hakim. Begitu pula dengan urusan-urusan yang lain. Mintalah kepada Allah dnegan hatimu. Lakukanlah sebab-sebab dengan keagungan hikmah-Nya. Allah adalah pelaku yang sesungguhnya. Hanya saja Dia membangun dunia ini di atas sebab-sebab. Namun walaupun kita sudah mengambil sebab-sebab, Dia tetap menuntut kita untuk mengabaikan Pemilik sebab-sebab tersebut, Zat yang telah menetapkan semua perkara sejak azali dan sebelum menciptakan seluruh langit dan bumi.
Perkara apapun yang ada didunia ini, digerakkan dua hal yaitu (1) gerakan hati dan (2) gerakan anggota tubuh. Gerakan hati hanyalah milik Allah, bukan milik siapapun selain-Nya. Sebab, Dia-lah pelaku yang sesungguhnya atas segala sesuatu, yang besar maupun yang kecil. Inilah perwujudan makna La ilaha illallah. Adapun gerakan anggota tubuh bisa dengan cara pergi ke dokter, minum obat, bekerja dan berikhtiar, pergi ke pengadilan, dan seterusnya. Dalam kaitan ini, Rasulullah saw. pernah bersabda melalui hadisnya, “Sesungguhnya Allah tidak melihat tubuh kalian, tidak pula melihat bentuk kalian, melainkan hati kalian.” Maka dari itu, semua orang yang beriman selamanya adalah orang yang pandai menata hati, sedangkan orang-orang munafik adalah orang yang hanya mementingkan penampilan luar, sehingga mereka tidak mendapat bagian apapun darai agamanya selain penampilan itu.
Pada dewasa ini Islam dan umatnya terasa belum memiliki gerakan yang maksimal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam proses pembangunan nasional berkelanjutan bahkan semangat keikhlasan mulai terkikis bersamaan dengan pengaruh teknologi dan globalisasi, sebagaimana dulu dimiliki oleh para pahlawan-pahlawan bangsa yang memiliki semangat juang dan keikhlasan yang tinggi demi terwujudnnya kemerdekaan bangsa Indonesia.
Mari kita tanamkan nilai keikhlasan dan beribadah dalam hati kepada Allah Swt pada berbagai macam amal usaha yang kita lakukan, demi tegak kokohnya Islam dengan umat terhormat lagi disegani. Semoga Ibadah Puasa di bulan suci Ramdhan Allah Swt memberikan petunjuk, dan kekuatan untuk selalu ikhlas dalam hati kepada Allah pada setiap aktivitas kehidupan sehari-hari. Aamiin.