Puasa dan Spirit Membangun Perdamaian
Oleh Dr. H. Abdurrohman Kasdi, Lc, M.Si
Bulan Ramadhan ini sangat spesial dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya, bahkan Rasulullah bersabda: “Sekiranya umatku mengetahui apa saja yang ada dalam Ramadhan, niscaya mereka akan berharap satu tahun penuh menjadi Ramadhan.” Salah satu di antara yang menjadikan bulan Ramadhan spesial adalah karena di bulan ini orang-orang mukmin dianjurkan untuk berpuasa, sebagaimana firman Allah: “Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu sekalian puasa, sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu sekalian bertaqwa.” (QS. Al-Baqarah: 183)
Penegasan al-Qur’an di atas menunjukkan betapa puasa juga telah menjadi amalan ibadah umat terdahulu. Di sinilah, puasa diletakkan sebagai ibadah universal, yang secara nyata pernah dipraktikkan oleh agama-agama lain. Bahkan, ibadah puasa tidak hanya menjadi klaim agama samawi, Hindu dan Budha pun memiliki ibadah puasa yang biasanya dijadikan sebagai sarana atau persiapan untuk melakukan ibadah ritual; mendekatkan diri kepada Tuhan. Ibadah puasa merupakan salah satu mata rantai yang menunjukkan aspek kesinambungan atau kontinuitas agama-agama di dunia. Dalam Islam sendiri, puasa berarti menjadi bukti kelanjutan dan penyempurnaan dari agama-agama Allah (samawi) yang telah diturunkan kepada umat-umat sebelumnya.
Islam, Yahudi, dan Kristen mengenal ajaran puasa, hanya berbeda tata caranya. Kelompok-kelompok yang berbeda kepentingan dalam hal politik, terutama dalam pemilu dan pilkada, mereka mempunyai ibadah ritual yang sama; yakni puasa. Maka puasa inilah yang dapat kita jadikan sebagai sarana untuk mendekatkan mereka secara universal menuju terciptanya perdamaian, sehingga tidak terjadi benturan kepentingan.
Pesan Damai dalam Puasa
Pertikaian atas nama agama, etnik, bangsa, dan negara menghiasi peradaban manusia modern. Dunia yang damai seakan tidak kita rasakan lagi sekarang ini oleh perilaku umat manusia yang suka berbuat kerusakan dan pertikaian, apalagi dengan hadirnya para teroris yang membuat dunia semakin mencekam. Karena itulah, ajaran Islam tentang puasa, selain mengajarkan untuk menahan haus dan lapar juga mengajarkan hamba-hamba Allah agar menahan diri dari kebencian, kedengkian dan kemungkaran antar sesama umat manusia. Rasulullah mengajarkan puasa sebagai amanah bagi umat Islam untuk dikerjakan sepenuh hatinya. Karena itu, puasa sebagai amanah mesti dimaknai sebagai tanggungjawab untuk membentuk masyarakat Muslim yang taat, salih, dan mengajak perdamaian.
Puasa dalam bahasa Arab disebut ash-shaum yang berarti al-imsak (menahan diri). Dalam istilah syari’at Islam, ash-shaum artinya adalah suatu bentuk ibadah berupa menahan diri dari makan, minum, hubungan seks dan hal-hal lain yang membatalkan puasa, dari sejak terbit fajar sampai waktu maghrib dengan niat mencari ridha Allah SWT. Dari sini tampak bahwa puasa tidak hanya sekedar menahan makan dan minum, karena orang yang berpuasa hanya menahan diri dari makan dan minum saja, maka ia hanya akan mendapatkan lapar dan haus. Rasulullah Saw. bersabda, “Berapa banyak orang yang berpuasa kecuali hanya merasakan lapar dan haus.”
Menurut Imam Ghazali, puasanya orang yang spesial adalah puasanya orang yang menahan makan, minum dan hubungan seks, menahan anggota badannya dari perbuatan maksiat dan menahan hatinya dari prasangka buruk serta menahan perbuatan jelek lainnya. Dengan demikian, orang yang berpuasa, selain menahan makan dan minum, ia juga harus menahan sifat marah, benci dan dengki. Ini adalah sebuah latihan untuk mengendalikan diri dari godaan untuk berbuat yang menimbulkan permusuhan. Dari sini, tampak jelas bahwa puasa ikut mendorong terciptanya perdamaian di saat dunia penuh dengan gejolak, pertikaian antarkelompok, dan ketakutan dari serangan terorisme.
Visi perdamaian dalam ibadah puasa menuntut kita untuk menghindari sikap permusuhan. Islam sendiri secara otentik bisa dimaknai sebagai agama perdamaian. Kata “al-Islam” atau “as-salam” artinya adalah damai. Bahkan, dalam fiqih pun; ada istilah dar al-salam yang merujuk pada makna “wilayah damai”. Inilah Islam secara otentik, yang memang secara substansial bermakna perdamaian, di samping makna penyerahan atau ketundukan diri. Karena itu, pesan aktual puasa adalah menciptakan perdamaian sejati dalam bingkai agama, dan bukannya memperbanyak perselisihan, pertikaian dan peperangan. Ajaran agama-agama yang secara substantif dimaknai sebagai jalan menuju kedamaian seakan dilupakan. Padahal, ibadah puasa telah menjadi tradisi agama-agama yang dipersiapkan sebagai latihan menuju jalan yang damai.
Pada akhirnya, dengan ibadah puasa akan terbentuk “the good society” sebagaimana dikonseptualisasikan Robert N. Bellah. Yakni, masyarakat yang damai tanpa kekerasan dan masyarakat yang penuh dengan nuansa spiritual-religius.***