Loading...

Link & Aplikasi

    

Puasa Ramadhan dan Spirit Protokol 5 M

Oleh Dr. H. Ihsan, M. Ag.

Marhaban yaa Ramadhan,,,,,Rasanya baru saja lewat bulan Ramadhan tahun lalu. Mengapa? Karena ibadah puasa dan beberapa ibadah lainnya yang kita jalani saat itu, dalam suasana dan di tengah memuncak wabah pandemi Covid 19 masih sangat kita rasakan. Ramadhan tahun ini menjadi tak jauh berbeda dengan suasana tahun kemarin, walau semua kita berharap suasana yang smakin melandai ini akan segera berakhir. Tentunya, semua kita tetap perlu menjaga dan meningkatkan kewaspadaan agar ibadah puasa Ramadhan kita tetap berkualitas dan menemukan derajat taqwa, sebagaimana harapan dari tujuan berpuasa itu sendiri. Semoga perasaan bahwa ramadhan tahun lalu baru lewat kini sudah datang kembali menjadi pertanda bahwa kita adalah termasuk golongan “mukminun shooimun” yang akan menemukan dua kebahagiaan utama, yaitu bahagia saat “Ifthor” (berbuka puasa atau iedul fitri) dan bahagia saat “Liqo`I robbihi” (berjumpa dengan Allah kelak).

Keputusan pemerintah untuk mentaati 3 M sampai-5 M, bahkan sampai saat ini masih menjadi warning dan perhatian kita bersama dalam rangka tetep menjaga dan memutus mata rantai penularan virus Corona-19. Di tengah krisis yang meluluh lantakkan semua sendi kehidupan, baik kehidupan social, budaya dan ekonomi, politik bahkan kehidupan keberagamaan kita juga terimbas oleh suasana pandemi. Moment Ramadhan, perlu kita aktualisasikan kembali maknanya, agar ibadah puasa kita menemukan kembali penajaman dan pendalaman makna yang lebih mengena. Sebagaimana fakta dan realita yang kita saksikan saat ini bahwa perilaku new normal dengan protokol kesehatan 5 M tetap dan masih menjadi perilaku kita sehari-hari dan hal ini menjadi semakin bermakna dalam konteks Ramadhan tahun ini.

Masyarakat kita semakin terbiasa dengan perilaku 5 M; 1) Memakai Masker, 2) Mencuci Tangan, 3) Menjaga Jarak, 4) Menjauhi Kerumunan dan 5) Membatasi Mobilitas dan Interaksi. Mengapa harus taat dan patuh pada protocol kesehatan ini. Karena, dengan 3 M yang sudah kita jalani selama satu tahun yang lalu, perlu peningkatan dan pengetatan dengan 2 M tambahan ang ke 4 dan 5. Sebagaimana epidemiolog Indonesia di Griffith University Australia Dicky Budiman mengatakan bahwa mobilitas, interaksi penduduk yang tinggi, keramaian kerumunan menjadi pemicu ledakan kasus perburukan pandemic. Tentunya, mobilitas dan interaksi dimaksud tidak dalam konteks yang tidak bermanfaat dan liar sebagaimana yang terjadi dan dilarang oleh agama. Wabah covid-19 telah mengubah pola dan praktik ibadah yang lazim dilakukan oleh umat beragama. Pembatasan aktifitas di Masjid dan musholla serta kegiatan-kegiatan keagamaan termasuk sholat Tarawih dan Tadarus Al Qur`an yang menjadi “branding” malam-malam Ramadhan menjadi tidak ramai dan meriah seperti saat tidak sedang pandemic.

Lalu, makna dan hikmah apa yang perlu kita temukan dari pembelajaran pandemic dengan new normal protocol 5 M. Puasa (shaum atau shiyam) yang artinya adalah menahan diri, yaitu setiap bentuk menahan diri dan diam. Sedangkan secara syariat, puasa adalah menahan diri dari hal-hal tertentu (yang dapat membatalkan puasa), sejak terbitnya fajar shiddiq hingga terbenamnya matahari. Dalam konteks wabah Covid-19 ini, Ramadhan merupakan salah satu instrumen religius untuk melatih menahan diri (imsaak) yakni bermasker, menjaga kebersihan diri, menjaga jarak dan menghindari kerumunan serta mengurangi mobilitas.

Tujuan utama shaum adalah pengendalian diri dan lebih peduli pada penderitaan orang lain dengan lebih banyak memberi mashlahat bukan madharat. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqhiyyah yang berasal dari hadits Nabi yang berbunyi: laa dharara wa laa dhirar, yang dalam kasus corona sekarang ini, kita “Tidak boleh membiarkan adanya virus corona yang mematikan manusia dan tidak boleh melakukan suatu perbuatan yang menjadi sebab penularan virus corona”. Seringkali, kita memaknai puasa sebagai proses pembersihan diri (tazkiyah al-nafs) dari unsur-unsur kebinatangan (al-nafs al-hayawaniyyah). Dengan tidak makan dan minum di siang hari, kita mengurangi nafsu hewaniyah itu untuk lebih mengaktifkan dimensi ruhaniyah kita.

Dalam suasana Covid-19 ini, pembersihan diri secara individualis seperti itu, tidaklah cukup. Kita dituntut untuk lebih mengamalkan “dimensi sosial” dari ibadah puasa. Dan tepat di titik inilah, tujuan utama puasa, juga kerahmatan Islam terpatri. Jika demikian, maka M yang pertama mengenakan masker adalah melindungi mulut dan lisan kita dari perkataan dan kalimat yang tidak pantas, tidak layak dan tidak berbau fitnah maupun hoax. Inilah ajaran mengenakan masker di bualn Ramadhan yang telah ditanamkan selama pandemic bahwa kita tidak hanya melindungi fisik mulut kita agar tidak tertular dan menularkan virus corona, akan tetapi yang jauh lebih penting adalah melindungi diri dari virus kebohongan dan ketidak jujuran terhadap diri sendiri maupun orang lain.

M yang kedua adalah menjaga jarak. Menjaga jarak dari apa dan menjaga jarak dari siapa? Pandemic dan Ramadhan, sama-sama mengajarkan kita untuk menjaga jarak dari tindakan yang tidak baik dan tidak benar. Menjaga jarak dari perbuatan fakhsya` dan munkar. Menjaga jarak dari pribadi yang jahat dan menyengsarakan orang lain. Pujian-pujian santri yang melantunkan syair “Tombo Ati” yang ke Lima “wong kang Sholih kumpulono” adalah bukti bahwa Ramadhan sangat konsisten mengajarkan tentang siapa yang perlu dan layak untuk kita jadikan teman dan berteman.

Jika kita menengok kembali tujuan utama syariah (maqashid al-syari`ah) Islam, kita akan mendapatkan concern Islam atas perlindungan hak-hak mendasar manusia. Sejak hak untuk beragama (hifdz al-din), hak hidup (hifdz al-nafs), hak berpikir (hifdz al-`aql), hak properti (hifdz al-maal) dan hak keturunan (hifdz al-nasl). Perlindungan terhadap lima hak dasar (dlaruriyyat) inilah alasan diturunkannya syariah Islam. Dalam kaitan ini, puasa tidak hanya bertujuan menjaga agama (hifdz al-din), tetapi juga menjaga nyawa (hifdz al-nafs). Maka ajaran M yang ke tiga adalah mencuci tangan sebagi simbul menjaga kebersihan. Bersih diri, bersih hati, bersih akal, bersih harta benda, dan bersih agama dari paham-paham radikal yang bertentangan dengan ajran Islam itu sendiri. Puasa memberikan isyarah, agar kita ikut merasakan kelaparan sebagaimana dialami oleh saudara sesama yang kesulitan ekonomi. Puasa tidak hanya memberikan pahala di akhirat, tetapi juga memerintahkan kita untuk menajamkan kepekaan sosial agar menjadi pribadi dermawan.

M yang ke empat adalah mengurangi mobilitas yang tidak perlu dan kontra produktif. Tindakan-tindakan pemborosan dan “mulghoh” perlu dihindari sebagai wujud ajaran ramadhan dan pandemic, agar segera memutus mata rantai virus corona dan segera memulihkan kembali masyarakat yang kini menjalankan ibadah puasa di kondisi krisis finansial. Dalam kondisi seperti ini, kepekaan sosial dari puasa tidak boleh hanya dijadikan refleksi, tetapi benar-banar menjadi aksi nyata di tengah masyarakat. Dan M yang terakhir yaitu Menghindari kerumunan dan interaksi secara massif. Ramadhan mengajarkan bahwa “ asshoumu lii wa ana ajzii bihi”, bahwa puasa adalah ibadah untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan membalasnya. Imam Al-Qusyairi, ulama sufi berpesan sebagaimana yang dikutip oleh Imam Nawawi dalam kitab al-Tibyan fi Adabi Hamalatil Qur`an: Afdhal al-shidq istawau al-sirr wa al alaaniyah, “Kebenaran yang paling utama adalah kesamaan antara dalam keadaan sunyi (sendiri) ataupun ketika ramai.” Pesan ini menjadi relevan di tengah situasi pandemi saat ini bahwa menghindari kerumunan dapat menjaga diri dari riya` dan pamrih terhadap orang lain. Setiap kita dituntut untuk belajar, bekerja dan beribadah ihlash tanpa harus ditunjuk-tunjukkan kepada orang lain di tengah kerumunan orang banyak.

Kita hanya perlu mempertimbangkan bahwa kualitas ibadah seseorang tidak hanya ditentukan oleh tempat di mana ia beribadah, tetapi juga dan terutama ditentukan oleh kualitas ketulusan, kualitas kekhusyuan, kualitas kesucian jiwa, juga kualitas pemaknaannya (spiritual attachment) terhadap ibadahnya. Memakmurkan dan beribadah di masjid tentulah lebih utama (Qs. al-Taubah: 18 dan Qs. al-Baqarah: 114), tetapi dalam kondisi pandemi global (Covid-19) seperti saat ini, juga perlu mempertimbangkan bahwa ibadah secara masal saat ini cukup beresiko. Anjuran pemerintah yang ada bukan pada larangan untuk shalat atau berjamaah dan beribadah lainnya, tetapi lebih pada pelarangan untuk berkumpul dengan orang-orang dalam jumlah yang lebih banyak karena beresiko. Untuk sementara, kita tetap bisa shalat berjamaah di rumah dengan anggota keluarga, di mana kuantitas jamaahnya lebih sedikit dibanding dengan jamaah di masjid.

Dengan demikian, berkah Korona, kini kita perlu melakukan reorientasi praktik keagamaan kita. Dari individualisme, kepada kemaslahatan sosial. Bukankah ini yang diajarkan oleh ajaran puasa, zakat, sedekah, ibadah haji dan umroh serta ibadah-ibadah social lainnya. Dasar Negara kita, sila pertama mengajarkan iman kepada Tuhan Yang Maha Esa yang dibuktikan dengan amal saleh dalam bentuk pemuliaan martabat manusia, perawatan persatuan bangsa, pemenuhan hak-hak rakyat, dan perwujudan kesejahteraan rakyat. Iman yang vertikal harus diamalkan dalam bentuk kebaikan horisontal. Sebab tidak ada jalan lain untuk membalas kasih sayang Allah, selain dengan mengasihi makhluknya di bumi. Demikian, semoga bermanfaat.

Share this Post: