Puasa Sebagai Instrumen Bertransformasi Menjadi Muttaqin
Oleh Dr. H. Mundakir, M.Ag
Arti puasa menurut bahasa adalah menahan. Sedangkan, puasa menurut istilah artinya: menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkan puasa mulai dari terbit fajar sampai tenggelam matahari beserta niat dan syarat-syarat tertentu. Pengertian ini lebih dalam perspektif Ilmu Fiqh, sedangkan dalam perspektif Ilmu Tasawuf (spiritualisme) masuk ke wilayah spiritual manusia, seperti harus meninggalkan perbuatan yang bisa mengotori jiwa, sebagaimana Sabda Rasulullah saw `Banyak orang yang berpuasa tetapi tidak memperoleh sesuatu dari puasanya, kecuali rasa lapar dan dahaga.`
Di sisi lain, dalam sebuah hadis qudsi, Allah berfirman, `Semua amal putra-putri Adam untuk dirinya, kecuali puasa. Puasa adalah untuk-Ku dan Aku yang memberi ganjaran atasnya.` Secara tegas Al-Quran menyatakan bahwa tujuan puasa yang hendaknya diperjuangkan adalah untuk mencapai ketakwaan atau la`allakum tattaqun. Dan masih banyak lagi dalil baik dari Al-Qur’an maupun al-Hadits yang memaparkan dimensi puasa yang ujung tertingginya adalah derajat `mutaaqiin`.
Tentang indikator derajat orang-orang muttaqin juga sangat banyak, tetapi paling tidak dapat dipetakan menjadi dua kondisi: indikator lahiriyah dan indikator batiniyah (spiritual). Puasa merupakan ibadah yang diharapkan memenuhi dua indikator tersebut. Mencegah dari makan dan minum sebagai unsur utama pelaksanaan puasa, berarti melatih diri untuk menjadi orang bertaqwa. Namun demikian, sempurnanya puasa manakala disertai dari mencegah perbuatan-perbuatan yang dilarang agama dan sekaligus memperbanyak amalan yang dianjurkan.
Ajaran menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa dan memperbanyak amal yang dianjurkan oleh agama adalah suatu upaya mentransformasikan diri dari posisi manusia biasa menjadi seorang muttaqin yang sejati. Suatu upaya yang tidak mudah, sekalipun setiap tahun transformasi tersebut selalu dilalui, dan tentu ada yang berhasil dan menjadi seorang muttaqin, namun ada yang sekedar memperoleh dan merasakan lapar dan dahaga. Tentu bukan berarti orang yang puasa pada pola yang kedua ini tidak ada fungsinya sama sekali, mereka tetap memperoleh derajat mu’min dan muslim.
Proses untuk bertransformasi untuk memperoleh derajat muttaqin dengan ciri-ciri, antara lain disebutkan dalam Surat al-Baqarah (2): 3: Pertama, iman kepada yang ghaib. 2. Menjalankan shalat. 3. Menginfakkan sebagian rizkinya. 4. Beriman terhadap al-Qur`an dan kitab-kitab sebelum al-Qur`an.
Pada ayat dan surat yang lain, tanda-tanda orang muttaqin akan berbeda pula, hal ini sebagaimana disampaikan di awal tulisan ini. Dari sekian banyak indikator (tanda-tanda) orang muttaqin mendeskripsikan seseorang yang secara lahir dan batin tergambar sebagai seorang yang sempurna. Secara horizontal hidupnya memiliki makna dan manfaat bagi lingkungannya (sesame manusia dan kepada alam), secara batiniyah (spiritual) hidupnya selalu terbimbing ke jalan yang ditunjukkan oleh Allah swt sehingga akan disenangi oleh sesame manusia apapun agama dan sukunya dan juga diridhoi oleh Allah swt.
Maka tidak terlalu berlebihan jika orang muttaqin sering dianalogikan dengan seekor kupu-kupu yang berhasil bertransformasi dari ulat. Kalau kita pernah ke Tawangmangu, selain pemandangan air terjun dan sungai aliran airnya, tempat ini dihiasi oleh banyaknya kupu-kupu yang beterbangan dengan keayuannya. Yah, di tempat seperti Tawangmangu-lah kita bisa rehat sejenak dan mengikuti alur terbang kupu-kupu, menikmati warna warni sayapnya yang simetris, sambil merenung tentang proses terciptanya makhluk kecil yang cantik ini, yang berhasil bertransformasi dari ulat.
Tidak ada pelajaran baru tentang metamorfosis kupu-kupu. Semua yang pernah sekolah dari tingkat rendah, pasti sudah disuguhkan oleh guru tentang bagaimana kupu-kupu itu terbentuk dari proses panjang dengan segala dinamikanya: telur, ulat, kepompong, sampai kupu-kupu. Saya menyebutnya dinamika karena tidak mudah sebuah telur kecil bertahan di daunan tanpa terjatuh, tidak mudah ulat merayap pelan di antara dahan tanpa disergap oleh predator pemangsa serangga, dan tidak mudah menggelantung menjadi kepompong, berdiam tanpa mengalami kerusakan. Katakanlah dinamika tersebut kita posisikan sebagai gangguan bertransformasi menjadi kupu-kupu indah ditopang oleh prinsip bertahan hidup; membuat berbagai kondisi uji secara alami supaya proses bertransformasi bisa berlangsung dengan sempurna.
Tidak semua ciptaan makhluk mengalami bertransformasi tubuh seperti kupu-kupu. Manusia salah satunya, sejak dari bayi tetap berwujud sama sampai dewasa. Tapi ada transformasi yang paling mendasar dalam diri manusia yaitu transformasi batiniyah (spiritual), atau kesadaran diri. Ciri transformasi spiritual berlangsung setiap saat, bisa karena pertambahan umur atau bisa juga karena momentum. Namun, sama dengan transformasi raga kupu-kupu, transformasi spiritual manusia membutuhkan proses, latihan, pembiasaan, keinginan kuat, dan tidak mudah menyerah. Puasa merupakan media (instrument) proses transformasi yang indikatornya akan terwujud setelah orang tersebut selesai menjalani puasa Bulan Ramadhan. Tidak hanya disenangi oleh sesama manusia yang menghadirkan manfaat dalam hidupnya, tetapi dia juga menghadirkan manfaat bagi lingkungan makhluk yang lain. Apakah analogi saya tepat, tapi kita memang perlu selalu mengakrabkan diri pada kehidupan semua makhluk, karena di sana tersaji secara apik perenungan terbaik tentang hikmah `ukhwah makhlukiyah`.