Puasa Transformatif Dengan Al-Tadayyun Al-Kamil
Oleh Dr. Muhaimin, M.H.I
Meminjam istilah ala pandemik yang lagi viral saat ini, sejatinya puasa Ramadlan adalah proses isolasi diri atau karantina mandiri yang disediakan oleh Allah Swt setahun sekali. Isolasi itu terutama terhadap hawa nafsu yang keberadaannya sering menjelma menjadi virus dan penyakit yang mematikan. Paket program isolasi diri itu pasti juga mempertimbangkan kapasitas dan potensi imunitas bawaan dan melekat pada masing-masing peserta. Potensi melekat itu kita sebut iman sebagai bahan dasarnya, dan hasil konkritnya adalah taqwa (QS. 1: 183).
Hakikat ajaran puasa merupakan syariat Allah yang sudah pasti menjamin ketaqwaan seseorang. Namun dalam wujud penghayatan, pelaksanaan, dan dampaknya tidaklah demikian. Dari sini, puasa satu sisi merupakan wujud dari ajaran al-din, (agama), sedangkan penghayatan dan pengamalan oleh pemeluknya adalah al-tadayyun, religiosity atau sikap keberagaman. Meskipun keduanya berbeda namun saling berkaitan erat. Penjelasan ajaran puasa, telah final dan tuntas dalam nash, namun pemahaman dan penghayatan manusia tentang puasa itu sendiri belum tentu sesuai dengan yang dikehendaki nash. Seringkali kita gagal memisahkan dimensi al-din, agama dan al-tadayyun, keberagamaan.
Taqwa: Kesalehan Transformatif dengan al-Tadayyun al-Kamil
Islam adalah agama rahmatan lil’alamin. Namun, faktualisasinya dalam dunia empiris seringkali jauh panggang dari api, terjadi ketimpangan antara idealitas ajaran dan wujud empirisnya, melalui perilaku umatnya. Misalnya seseorang yang sedang melaksanakan ibadah puasa namun tidak sensitif terhadap problematika umat di sekitarnya, berpuasa namun diam dengan ketimpangan sosial dan tidak mempunyai andil dalam kerja-kerja pembelaan dan pendampingan, ada yang berkali-kali naik haji dengan perilaku sosial yang tetap menindas dan menyimpang, memiliki harta yanag berlimpah tetapi tidak peduli dengan isu minimnya akses pendidikan masyarakat tidak mampu. Fenomena itu disebut al-tadayun al-manqus, beragama namun terdapat gap (jarak) antara agama dan keberagamaan, termasuk juga perilaku sosialnya.
Tidak mudah untuk mewujudkan keberagamaan yang sempurna atau al-tadayyun al-kamil, yakni satu gerak simetris antara ajaran agama, dengan pemahaman dan penghayatanya, serta wujud faktualnya. Keberagamaan model ini adalah wujud taqwa yang menjadi produk puasa oleh insan kamil, yaitu manusia yang sempurna dimana perilakunya sesuai dengan yang diinginkan oleh pencipta-Nya (Q.S. al- Dzariyat:56). Kata “sempurna” dalam hal ini bukan diartikan sebagai penyamaan antara sempurnanya manusia sebagai makhluk dengan penciptan-Nya, namun lebih kepada dimensi kemanusiaannya. Menuju manusia sempurna, harus melewati tiga proses; pertama, takhalli yaitu membersihkan jiwa dari kotoran-kotoran batin sehingga jika batinnya berpenyakit seperti memiliki sifat sombong, ujub, lebih cinta dunia, iri dengki, hasud dan sebagainya. Sifat-sifat ini jika tidak disucikan, akan menjadi hijab (penghalang) antara manuasia itu dengan pencipta-Nya. Kedua, melalui Tahalli yaitu proses memperindah jiwa misalnya dengan menanamkan sifat-sifat yang mulia seperti jujur, mudah menangis melihat penderitaan, keberanian bersikap, dan berkata yang baik dan benar. Ketiga adalah Tajalli yaitu tersambungnya seorang hamba dengan pencipta-Nya sehingga menjadi tampak kekuasaan-Nya, kebesaran-Nya, dan kemuliaan-Nya di dalam pikiran, jiwa, dan perilakunya. Puasa dengan al-tadayyun al-kamil harus selalu diusahakan dan selalu diasah, mulai dari mengusahakan kedalaman penghayatan akan makna puasa dengan kerja kerja akademis. Tentunya juga kerja akademis yang tidak hanya nyaman berdiri di menara gading, lalu abai dengan segala bentuk problem kemanusiaan.