Puasa dan Semangat Reformasi Birokrasi
Oleh Dr. H. Karsa Sukarsa, M.M.
Dalam perspektif sufistik, puasa merupakan salah satu alternatif riyadhah atau latihan rohani untuk melatih dan mengendalikan hawa nafsu. Lebih jauh, makna puasa di kalangan sufistik bertumpu pada dua hal, yaitu imsak ‘an (menahan diri) dan imsak bi (berpegang teguh pada ajaran Allah swt. dan Rasulullah saw.). Dengan demikian, dalam sudut pandang tasawuf, sesungguhnya hakikat puasa adalah menahan diri dari segala godaan syahwat dengan selalu berpegang pada ajaran Allah swt. dan Rasul-Nya. Inilah sesungguhnya relasi antara makna puasa dengan tujuan puasa sebagaimana disebut dalam penggalan akhir Q.S. al-Baqarah [2]: 183, yakni la’allakum tattaqun, agar para shaimun (orang-orang yang berpuasa) dapat menggapai derajat takwa. Sebagaimana dijelaskan oleh Ubay bin Ka’ab r.a. ketika ditanya Umar bin Khattab r.a., makna takwa adalah hati-hati meniti tiap jejak langkah kehidupan dengan selalu berpegang teguh pada ajaran Allah swt. dan sunnah Rasul-Nya.
Dari makna inti puasa ini, lahirlah delapan nilai puasa yang berkorelasi dengan hidup dan peri kehidupan manusia di dunia ini. Kedelapan nilai puasa tersebut meliputi: (1) puasa melatih kesabaran dan menahan amarah; (2) puasa melatih untuk berempati kepada sesama; (3) puasa mengajarkan arti bersyukur; (4) puasa menghindarkan diri dari sifat rakus; (5) puasa melatih kedisiplinan dan tanggung jawab; (6) puasa melatih dan menjaga kesehatan tubuh; (7) puasa mengajarkan untuk saling menghormati dan tepo seliro; (8) puasa mengajarkan untuk lebih banyak berbagi kepada sesama.
Lalu di manakah hubungan antara nilai puasa dan spirit reformasi birokrasi yang sejak era Reformasi terus digaungkan pemerintah untuk menciptakan good governance? Sebagaimana digariskan pada Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 20 Tahun 2010 Tentang Roadmap Reformasi Birokrasi 2010-2014, Reformasi Birokrasi Kementerian Agama dilaksanakan untuk menjawab tuntutan terhadap delapan area perubahan, yaitu penataan birokrasi, perubahan pola pikir (mindset) dan budaya kerja yang terwadahi pada komitmen pimpinan, penataan tata laksana (business process), penataan peraturan perundang-undangan, penataan sistem manajemen sumber daya manusia (SDM), penguatan pengawasan, penguatan akuntabilitas kinerja, dan peningkatan kualitas pelayanan publik. Kriteria keberhasilan area perubahan reformasi birokrasi tersebut ditunjukan oleh hasil capaian pada tingkat kepuasan masyarakat atau pengguna layanan, peningkatan profesionalisme sumber daya manusia (SDM), dan pencapaian Indikator Kinerja Utama (IKU).
Benang merah antara nilai-nilai puasa dan nilai-nilai reformasi birokrasi terletak pada aspek akuntabilitas kinerja. Menurut Teguh Arifiyadi (2008), akuntabilitas adalah kewajiban dari individu atau penguasa yang dipercayakan untuk mengelola sumber daya publik dan yang bersangkutan dengannya kemudian dapat menjawab hal yang menyangkut pertanggungjawabannya. Pada titik ini, keterkaitan puasa dan reformasi birokrasi terletak pada salah satu nilai puasa, yakni puasa melatih kedisiplinan dan tanggung jawab.
Tentang puasa melatih kedisiplinan dan tanggung jawab, dalam sebuah Hadis Qudsi yang diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah saw. bersabda, bahwa Allah swt. berfirman, “Setiap amalan manusia adalah untuknya kecuali puasa. Sebab ia hanyalah untuk-Ku dan Akulah yang akan memberikan ganjaran kepadanya secara langsung” (H.R. Bukhari dan Muslim). Nilai kedisiplinan dan tanggung jawab dari ibadah puasa terletak pada penggalan hadis “sebab ia hanyalah untuk-Ku dan Akulah yang akan memberikan ganjaran kepadanya secara langsung”. Menurut penjelasan para ulama, puasa merupakan amalan batin yang hakikatnya tidak diketahui kecuali oleh Allah swt. dan orang yang berpuasa. Puasa adalah ibadah yang bertumpu pada niat dalam hati. Hal ini berbeda dengan ibadah lainnya yang bisa dilihat dan tampak oleh mata. Sementara, puasa merupakan amalan yang bersifat rahasia antara Allah dan hamba-Nya.
Betapa banyak orang yang memiliki ide bagaimana orang lain harus berubah tapi sedikit sekali ide bagaimana dirinya harus berubah. Melalui ibadah puasa inilah, sesungguhnya Allah swt. tengah memberikan kesempatan kepada kita untuk melakukan reformasi diri yang kemudian berlanjut ke reformasi birokrasi. Reformasi spiritual dalam ibadah puasa terletak pada nilai kedisiplinan dan tanggung jawab. Setelah selesai menjalankan ibadah puasa, bukan hanya derajat takwa yang akan kita peroleh. Ibadah puasa juga akan berdampak pada reformasi birokrasi dan reformasi sosial, yakni kita akan semakin disiplin dan bertanggung jawab dalam bekerja dan menjalani kehidupan. Dengan demikian, ibadah puasa kita tidak berhenti pada aspek ritual dan spiritual semata, tetapi diharapkan berdampak pula pada perubahan birokrasi dan sosial ke arah yang lebih baik.