Loading...

Link & Aplikasi

    

Puasa, Wabah, dan semangat Moderasi Beragama

Oleh Dr. H. Mudzakir, M.Ag

Kebahagiaan hati umat Islam menyambut Ramadhan adalah bukti hadirnya wujudnya iman bagi setiap muslim. Kebahagiaan itu terlahir dari pohon iman pada kedalaman setiap muslimin dan muslimat yang melahirkan kuncup yang akan terus menjadi kembang dan menjelma dalam kelopak indah Ramadhan.

Bulan Ramadhan adalah penghulu dari segala bulan, bulan yang penuh keberkahan, rahmat dan ampunan. Ada 12 bulan dalam satu tahun Allah Subhanahu wa Ta`ala berikan kepada kita dan Allah pilih satu bulan dari 12 bulan itu, bulan yang penuh dengan keutamaan, bulan yang sangat spesial (istimewa) berbeda dengan bulan-bulan lainnya, yaitu bulan Ramadhan.

Kesungguhan menjalani rangkaian ibadah Bulan Ramadhan berpangkal dari kedalaman iman seorang muslim, semangat yang membara sampai-sampai berharap seluruh bulan (dua belas bulan) itu menjadi bulan Ramadhan, hal demikian dapat membuktikan bahwa kekuatan ruhani jauh lebih penting dari kekuatan jasmani. Bila pelaksanaan Ramadhan didasarkan pengetahuan yang cukup dihayati sepenuh hati, kepergiannya terasa sebagai suatu perpisahan yang memilukan, tetapi jika tidak didasari iman, pengetahuan yang cukup maka ibadah Ramadhan tidak membekas, bahwa kepergiannya adalah sebuah kemerdekaan dari terkekangnya rasa lapar dan haus, kemerdekaan dari terbelenggunya hawa nafsu. Maka kita juga harus memperlakukan bulan Ramadhan dengan istimewa. Ibarat tamu istimewa yang datang mengunjungi kita, kitapun memberikan pelayanan yang terbaik, khidmat yang terbaik untuk tamu istimewa tersebut.

Bulan Ramadhan, ketika terbersit kata ini di benak kita, tentu ibadah puasa yang lebih menonjol daripada ibadah-ibadah lainya. Puasa (shaum/shiyam) artinya adalah menahan diri. Setiap bentuk menahan diri dan diam disebut Puasa. Dalam konteks wabah Covid-19 ini, Ramadhan merupakan salah satu instrumen religius untuk melatih penahanan diri (imsaak) dari berbagai bentuk seperti lockdown, isolasi diri, dan physical distancing, bahkan social distancing  untuk menahan dan membendung tersebarnya virus corona.

Tujuan utama shaum adalah status muttaqin, pengendalian diri merupakan prasyarat utama. Salah satu ciri manusia takwa lebih peduli pada penderitaan orang lain dengan lebih banyak memberi mashlahat bukan madharat. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqhiyyah yang berasal dari hadits Nabi yang berbunyi: laa dharara wa laa dhirar, yang dalam kasus corona sekarang ini, bisa diartikan sebagai berikut; `Tidak boleh membiarkan adanya virus corona yang mematikan manusia menular kepada orang lain, karena bisa jadi kita sedang terpapar virus tersebut`. Maka kita menahan diri dari berinteraksi dengan orang lain.

Kita semua berkewajiban untuk ikut berperan dalam memutus rantai pandemi global ini dengan bersama sama saling tolong menolong melakukan sesuatu (Qs. Al-Maidah: 2). Bentuk tolong menolong yang efektif adalah seperti stay at home, maka beribadah di rumah menjadi pilihan dan keharusan bagi semua umat beragama. Langkah pemerintah mengambil kebijakan pembatasan sosial berskala besar, yang intinya adalah membatasi kontak fisik atau bersama-sama mejaga jarak (physical distancing) untuk memutus rantai penyebaran Covid-19 ini. Kebijakan pemerintah ini sudah sesuai dengan kontekstualisasi teks-teks keagamaan, mulai ayat al-Quran, sunnah Nabi Saw. hingga pada qawaa`id dan ushul fiqhiyyah. Dengan kata lain, kebijakan ini sudah in line dengan perintah agama untuk mewujudkan kemaslahatan yang merupakan inti dari maqashid syari`ah (ultimate goal syariah) yang di antaranya adalah menjaga jiwa dan menjaga kemanusiaan (QS. al-Maidah: 32). Inilah bentuk tanggungjawab manusia sebagai khalifah di bumi (Qs. al-Ahzab: 72, Qs. Al-Baqarah: 30). Mari, sebagai warga bangsa dan umat beragama kita wajib mengikuti, mengamankan dan mensosialisasikan kebijakan pemerintah (Qs. Al-Nisa: 59).

Imam Al-Qusyairi yang merupakan salah satu ulama sufi yang terkenal berpesan sebagaimana yang dikutip oleh Imam Nawawi dalam kitab al-Tibyan fi Adabi Hamalatil Qur`an: Afdhal al-shidq istawa`u al-sirr wa al `alaaniyah, `Kebenaran yang paling utama adalah kesamaan antara dalam keadaan sunyi (sendiri) ataupun ketika ramai`. Pesan ini menjadi relevan di tengah situasi pandemi saat ini. Di mana setiap dari kita dituntut untuk belajar, bekerja dan beribadah dari rumah. Khususnya dalam konteks ibadah, yang biasanya dilakukan secara berjamaah atau komunal, sekarang diharuskan beribadah secara pribadi personal.

Perlu diingat, kualitas ibadah seseorang tidak hanya ditentukan oleh tempat di mana ia beribadah, tetapi juga dan terutama ditentukan oleh kualitas ketulusan (Qs. al-Bayyinah: 5), kualitas kekhusyuan (Qs. al-Mukminun: 1-2), kualitas kesucian jiwa (Qs. al-Syams: 9-10), juga kualitas pemaknaannya (spiritual attachment) terhadap ibadahnya. Memakmurkan dan beribadah di masjid tentulah lebih utama (Qs. al-Taubah: 18 dan Qs. al-Baqarah: 114), tetapi dalam kondisi pandemi global (Covid-19), beribadah di masjid atau tempat ibadah secara masal resikonya terlalu tinggi. Pelarangan yang ada bukan pada larangan untuk shalat atau berjama`ah, tetapi lebih pada pelarangan untuk berkumpul dengan orang-orang dalam jumlah yang lebih banyak. Kita tetap bisa shalat berjama’ah di rumah dengan anggota keluarga, di mana kuantitas jama`ahnya lebih sedikit dibanding dengan jama`ah di masjid.

Maka kualitas ibadah kita dapat diukur masing-masing. Benarkah kita beribadah karena Allah ataukah karena ingin dilihat oleh manusia? Jangan sampai justru semangat komunal keberagamaan kita ternodai dari niat yang keliru. Disinilah pentingnya menghayati ibadah dalam kesunyian.

Ibnu Hajar al-Asqolani termasuk ulama yang berpendapat melarang perkumpulan. Di jaman beliau pada tanggal 27 Rabi`ul Akhir tahun 833 H di Kairo, juga terjadi hal yang sama (pengumpulan massa untuk doa bersama). Pada tanggal 4 Jumadal Ula masyarakat diperintahkan keluar ke lapangan, sebelumnya dianjurkan puasa 3 hari, lalu shalat dan berdoa. Korban jiwa sebelum acara tsb kurang dari 40 orang. Namun setelahnya malah membengkak lebih dari 1000 lebih nyawa melayang. Mesir yang sebelumnya ada 20 juta penduduk, lalu ketika terjadi hal tersebut, penduduknya tersisa kurang lebih hanya 2 setengah juta. Hal tersebut yang mendorong beliau menyalin kitab Badzlul Ma`un Fi Fadhlith Tha`un setelah mengumpulkan banyak sekali hadis dan kalam para ulama pada tahun 819 H. Sehingga beliau dua kali menolak keluar bersama Malik/Raja Muayyad dalam kegiatan tersebut. Ibnu Hajar melalukan karantina mandiri dengan social distancing dengan menolak keluar rumah (isolasi diri) dengan tidak menghadiri kegiatan yang disponsori Raja Muayyad Billah di Kairo saat itu. Pemikiran dan tindakan beliau sangat maju, relevan untuk era (pandemi) saat ini.

Poinnya adalah baik ibadah bersama atau pribadi, seharusnya kita taruh dalam kapasitas yang sama. Tidak berbeda atau berat sebelah sebagaimana nasihat yang disampaikan oleh Imam Al-Qusyairi di atas. Dalam ungkapan yang lain, kita butuh semangat moderasi dalam beragama. Terlebih pada bulan suci Ramadan yang sudah menjadi tradisi, Ramadan selalu dihadapi dengan kebersamaan. Mulai dari tradisi menyambut Ramadan di berbagai daerah. Kemudian dilanjutkan dengan ibadah berjamaah di masjid, buka puasa bersama, shalat tarawih, tadarrus Al-Quran, dll. Maka ketika semua ibadah tersebut dialihkan (bukan dihapuskan) ke rumah masing-masing, jangan sampai mengganggu kualitas ibadah kita.

Wabah ini memberikan hikmah kepada kita bahwa keikhlasan tidak diukur dari semangat keberagamaan yang tinggi untuk beribadah di masjid atau kekhusyuan beribadah di tengah kesepian. Semuanya akan sirna jika kita beribadah untuk ditunjukkan kepada manusia. Sebab, Ikhlas adalah urusan hati yang kita tujukan sepenuhnya kepada Allah ta’ala.

 

Share this Post: