Puasa dan Ketahanan Diri
Oleh Dr. H. Ahmad Atabik, Lc., MSI
Bersyukur tahun ini di tengah pandemi Covid 19 kita masih diberi kesempatan oleh Allah untuk menjalanan ibadah puasa di bulan Ramadan. Selain berpuasa, kita dianjurkan oleh Rasulullah untuk menjalani berbagai bentuk kegiatan atau amalan-amalan yang diutamakan, seperti tarawih, membaca Alqur’an (tadarus) dan amalan baik lainnya. Bahkan, beberapa hari sebelum memasuki bulan Ramadan, telah banyak kegiatan-kegiatan positif seperti pengajian-pengajian pasanan yang diberbagai pondok pesantren di nusantara ini yang masa pandemi ini banyak dilakukan secara online. Hal ini bertujuan memberi kondisi batin dan rohani supaya lebih memiliki kesiapan untuk menjalani ibadah puasa.
Sebagaimana disampaikan Rasulullah, Ibadah puasa Ramadan itu memang untuk Allah dan hanya Allah sendiri yang yang membalasnya. Maka dalam menjalaninya harus dengan penuh totalitas keimanan dan mengharap pahala dari Allah (imanan wa ihtisaban) sehingga ada kelayakan berhadap dapat mengembalikan diri pada kondisi awal kejadiannya yang suci (fitrah) dan mencapai posisi puncak rasa takut dalam menghamba kepada Sang Pencipta (taqwa). Dan dalam menjalankan puasa ini menghindari apa yang pernah disampaikan Rasulullah, “Betapa banyak orang berpuasa, namun yang didapat hanya ra lapar dan dahaga belaka”.
Puasa atau shaum secara bahasa adalah menahan. Sementara secara istilah adalah menahan makan, minum, dan syahwat mulai waktu fajar hingga waktu tenggelamnya matahari. Dari pengertian itu, sejatinya ibadah puasa dapat menghidupkan, dan mencerahkan hati. Sebab, roh dan jiwa puasa adalah mengendalikan dan menahan diri dari rongrongan hawa nafsu. Kalau akhir-akhir ini terasa kehidupan dibayangi oleh mental masyarakat yang rapuh, maka faktor kegagalan mengendalikan diri dari tekanan hawa nafsulah yang paling meraja. Maka, tidak perlu heran apabila banyak bermunculan pribadi-pribadi yang rapuh, tidak jelas nilai-nilai yang dijadikan pegangan hidupnya. Maka puasa harus bisa memuncul rasa optimisme diri dan ketahanan diri yang kuat.
Bagi umat Islam, terutama bagi para pemimpin dan ulama, Ramadan tahun 1441 H ini merupakan ujian tersendiri. Di tengah pandemi Covid 19 yang mengancam setiap jiwa, mereka dituntut bisa mengambil langkah antisipatif penyebaran Covid 19 dengan menerapkan pola kehidupan pembatasan interaksi sosial yang diimplementasikan dengan aktifitas di rumah. Hal itu tentunya juga berdampak pada tradisi dan kebiasaan di bulan Ramadan. Jika biasanya umat Muslim menjalankan ibadah puasa dengan berbuka bersama atau tarawih di masjid, kali ini lebih dianjurkan hanya bersama anggota keluarga, di rumah saja. Perubahan tradisi ini tentu memiliki landasan hukum yang menjadi tujuan syariat, yaitu menolak kemudaratan itu lebih utama daripada mengejar manfaat.
Ramadan masa pandemi ini kaum muslimin dituntut untuk lebih peduli terhadap kaum lemah, fakir miskin yang membutuhkan uluran tangan, terutama yang menjadi tetangga dekatnya. Kaum muslimin Indonesia merupakan elemen bangsa yang kuat karena sudah terbiasa saling tolong menolong antara sesama manusia. Dengan saling menolong, maka seluruh masyarakat bisa menjalankan ibadah di bulan suci ini dengan lancar sekaligus mengatasi persoalan Covid-19 bersama-sama. Dengan demikian ketahanan fisik dan psikis kaum muslimin Indonesia tetap kuat meski dalam masa pandemi seperti ini. Semoga Allah segera mengangkat virus corona dari muka bumi ini. Sehingga semua elemen bangsa bisa hidup normal dalam menjalankan aktifitasnya.