Berpuasa untuk Meninggalkan Maksiat dan Mengharap Ridha Allah
Oleh Dr. Masturin, M.Ag
Orang yang sedang berpuasa wajib menghindarkan diri dari ucapan atau perbuatan yang keji atau perbuatan yang berlawanan dengan tujuan puasa, yang diterima oleh Allah adalah puasa yang mendidik dan melatih jiwa, memperkuat dan menambah keinginan berbuat kebajikan dan membuahkan ketaqwaan kepada Allah, seperti firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 183, yang artinya: “Hai orang-orang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana yang dahulu telah diwajibkan kepada orang-orang (ummat) sebelum kalian, agar kalian bertaqwa”.Agar ibadah puasa itu tdk hanya mendapatkan kelaparan, kehausan dan hal lain yang tidak diinginkan maka orang yang berpuasa harus melakukan hal-hal yang sesuai dengan ajaran agama Islam yaitu mengisi ibadah puasa dengan perbuatan yang terpuji.
Orang sering bertanya, bagaimana hukumnya bagi orang berpuasa dibulan Ramadhan, tetapi dia suka bergunjing, berdusta, atau memandang perempuan lain dengan selera syahwat? Apakah puasanya sah atau batal? Orang memang bebas memilih untuk tidak berpuasa, tetapi sebagai orang muslim tidak bebas untuk tidak berpuasa karena terikat dengan ajaran agama Islam.
Ketika pada saat manusia merasa kuat akibat lupa diri, banyak diantara mereka yang cenderung tidak merasakan sedikitpun kebutuhannya, tetapi ketika kekuasaan dan kekuatan meninggalkannya, dia merasa takut atau cemas, dan pada saat itu dia membutuhkan “sesuatu” yang mampu menghilangkan ketakutan dan kecemasannya, dari sini manusia mulai melakukan hal-hal yang berkaitan dengan ajaran agama termasuk berpuasa, apa yang dikemukakan diatas, dikonfirmasi oleh Allah dalam surat Fathir:15, yang artinya: ”Wahai seluruh manusia, kamu adalah orang-orang yang butuh kepada Allah dan Allah Maha Kaya, lagi Maha Terpuji”.
Dari ayat tersebut bisa diambil hikmahnya, orang yang berpuasa melalui hubungan baik dengan kekuatan yang diyakini, setiap manusia akan merasa tenang dan damai, kecemasannya akan terkikis, kesedihannya akan berkurang dan harapannya akan tumbuh berkembang, itulah buah menjalankan ibadah puasa.
Untuk menjawab pertayaan diatas, ada sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh imam Bukhori dan Muslim, yang artinya: “puasa adalah pencegah, bila kalian berpuasa hendaklah tidak bersetubuh (dengan istrinya) dan tidak lengah, jika ada orang lain memaki atau memusuhinya, hendaklah ia menjawab: saya sedang berpuasa”.
Hadits lain yang diriwayatkan oleh an-Nasa’i, Ibnu Majjah, al-Hakim, Bukhari, Ahmad ibnu Hanbal, menegaskan: “Barang siapa yang tidak meninggalkan ucapan dan perbuatan tidak senonoh (dusta, memaki, mengumpat dan lain sebagainya) Allah sama sekali tidak butuh dia meninggalkan makan dan minum (puasa)”.
Ibnu ‘Arabi mengatakan: “maksud hadits tersebut adalah, orang yang bersangkutan tidak memperoleh pahala atas puasanya, tegasnya bahwa pahala ibadah puasa tidak boleh dicampuraduk dengan dosa perbuatan bathil dan tidak senonoh”. Ibnu Hazm berpendapat, “bahwa semua bentuk keburukan dan kebathilan membatalkan puasa”.
Ada beberapa pendapat yang diriwayatkan oleh sejumlah sahabat, dan ulama’ tabiin: “kami tidak dapat menerima pendapat Ibnu ‘Arabi dan Ibnu Hazm yang memandang bahwa semua maksiat tersebut menghilangkan buah hasil puasa dan merusak maksud yang dikehendaki oleh syariat. Oleh sebab itu orang-orang shaleh dari ummat terdahulu selalu menjaga puasanya dari perbuatan yang sia-sia, apalagi perbuatan yang haram.
Umar Ibnu Khattab berkata: “berpuasa tidak hanya tidak makan dan minum saja, tetapi juga berpuasa dari dusta, perbuatan bathil dan sia-sia”.Jabir bin ‘Abdullah menasehati sahabatnya: “Bila anda berpuasa hendaklah telinga dan mata anda juga turut berpuasa, demikian juga lidah anda jaga dari perkataan dusta dan dosa-dosa lain, janganlah anda samakan antara hari-hari saat berpuasa dengan tidak berpuasa”.
Apapun yang terjadi, puasa mempunyai pengaruh dan pahalanya sendiri, dan perbuatan bergunjing, berdusta dan lain-lain pun mempunyai hukumnya sendiri, Allah telah berfirman: “Wakullu syain ‘indahu bimiqdar”. Artinya: “dan segala sesuatu dihadapan Allah (kelak diperhitungkan) menurut kadar ukurannya”. (QS. Ar-Ra’ad:8). Maksud dari ayat tersebut semua atau setiap amal perbuatan akan dihitung dan ditimbang diakhirat kelak.
Ada sebuah hadits dibawah ini yang perlu kita cermati, hadits berasal dari Ummul-Mukminin ‘Aisyah r.a., diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dan Imam Tirmidzi, menerangkan bahwa salah seorang sahabat Nabi datang menghadap beliau, kemudian bertanya: “Ya Rasulullah, saya mempunyai beberapa orang budak, mereka sering membahongi dan menentang saya, mereka saya pukul dan saya maki-maki. Pada hari kiamat kelak bagaimana anatara saya dan mereka?” Beliau Rasulullah menjawab: “Kelak akan diperhitungkan ketidakjujuran mereka kepadamu, pembangkangan mereka terhadapmu, perbuatan mereka yang membohongimu, dan akan diperhitungkan pula hukum apa yang telah engkau timpakan terhadap mereka. Jika hukuman yang engkau timpakan itu kadarnya dibawah kesalahan mereka, maka engkau akan memperoleh kelebihan. Akan tetapi jika hukuman itu sama dengan kadar kesalahan mereka, maka engkau tidak untung dan tidak rugi. Namun, jika hukuman yang engkau timpakan kepada mereka itu melebihi kadar kesalahan mereka, maka engkau akan diharuskan menyerahkan kelebihan yang ada padamu kepada mereka”.
Mendengar jawaban Rasulullah seperti itu, sahabat yang bersangkutan menangis dan meratap. Beliau Rasulullah bertanya: “Apakah engkau tidak pernah membaca firman Allah, yang artinya: “Akan Kami letakkan timbangan yang tidak berat sebelah pada hari kiamat, tidak seorangpun yang akan dirugikan barang sedikitpun, amal perbuatan sebesar biji sawipun akan Kami berikan pahalanya. Cukuplah Kami sendiri yang akan mengadakan perhitungan”. (QS. Al-Anbiya’:47). Sahabat tersebut menyahut: “Ya Rasulullah, saya tidak merasa ada hal yang lebih baik dari pada berpisah dengan mereka (budak-budak) karena itu saksikanlah: ‘mereka semua saya merdekakan’.
Dari tulisan diatas bisa diambil pembelajaran, momentum bulan puasa kita tingkatkan produktifitas dalam menjalankan ibadah puasa baik ibadah Mahdloh (ibadah langsung berhubungan kepada Allah) maupun ibadah Goiru Mahdloh (ibadah berhubungan dengan sesama manusia maupun lingkungan/ibadah sosial) dengan sebaik-baiknya, dengan harapan selesai menjalankan ibadah puasa kita tergolong orang muttaqin sebagai bekal hidup di dunia maupun akhirat kelak. Wallahu ‘alam bi shawab.