Mencari Pahala Melimpah di Tengah Pembatasan Ibadah Berjamaah
Ramadhan tiba menjadikan umat kembali berlomba untuk mendapatkan keutamaan yang berujung limpahan rahmat dan pahala. Hal ini menjadi harapan semua umat muslim yang menjalankan ibadah puasa. Bulan ramadhan menjadi bulan penuh bonus bagi yang mengisinya dengan amalan sesuai ketetapan syariat, sebagaimana disabdakan Nabi, “Barang siapa menunaikan ibadah puasa di bulan ramadhan karena berdasar iman dan mengharap pahala dan ridho dari Allah, niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah dilakukan” (Hadits riwayat Imam Ahmad dari Abu Hurairah).
Tidak hanya sebatas itu balasan amalan ibadah, jika setiap perbuatan baik digantikan dengan sepuluh kali lipat hingga tujuhratus kali lipat balasan yang akan diberikan Allah kepada pelaku kebaikan, sebagaimana Hadits riwayat Imam Tirmidhi, maka bisa direnungkan seberapa besarnya untuk amalan ibadah di bulan ramadhan seperti ini. Itu sebabnya, lanjut Hadits tersebut, ..dan puasa itu hanya milik Aku (Allah) yang akan membalasnya termasuk seberapa besar nilai balasan semua amalan ibadah yang dilakukan oleh seorang hamba. Hal ini menjadi penggerak setiap muslim untuk menjadikan bulan ramadhan sebagai bulan pemberi motivasi dalam beribadah sosial maupun individual.
Emosi sosial sebagai Syiar
Luapan emosi sebagai refleksi semangat bulan ramadhan membangkitkan ekspresi amalan ibadah yang tidak hanya puas dijalankan dalam lingkungan tempat yang terbatas, seperti di rumah, namun meluas ke luar rumah utamanya di masjid, musholla atau tempat-tempat lain yang dapat menunjukkan semangat kebersamaan dalam menjalankan ibadah bersama sebagai wujud syiar Islam yang memang diperbolehkan untuk mengamalkan amalan seperti itu. Seperti shalat fardhu berjamaah, shalat tarwih, tadarus al-Qur’an, kajian ilmu-ilmu keagamaan ataupun majlis-majlis taklim. Kesemuanya itu dijalankan secara berjamaah, karena beberapa alasan.
Pertama, hal itu dilakukan karena keinginan mendapatkan pahala dan keberkahan yang berlipat, seperti berjamaah shalat apalagi di masjid akan mendapatkan keutamaan berlipat hingga dua puluh tujuh kali, selain itu sekaligus memakmurkan masjid sebagai pusat kegiatan ibadah dan simbol kebanggaan umat muslim. Kedua, ada proses komunikasi dan interaksi sosial yang sesungguhnya merupakan kunci media dakwah Islamiyah untuk ikut membangun karakter masyarakat sesuai ajaran agama, sebagaimana pesan Nabi bahwa beliau diutus untuk menyempurnakan ahlak dan budi pekerti. Ketiga, berkumpul menjadi salah satu tradisi yang banyak memberikan manfaat selain bisa berkomunikasi antar sesama, juga menjadi sumber informasi berbagai kegiatan islami, seperti pengetahuan, ekonomi, budaya bahkan politik ataupun lainnya.
Di tengah merebaknya wabah corona (Covid 19), kegiatan sosial yang membutuhkan kerumunan banyak orang perlu dibatasi agar tidak memperparah kondisi yang dapat memepercepat penyebaran virus. Hal ini bukan dimaksudkan untuk merendahkan nilai ‘sakral’ tempat ibadah seperti masjid ataupun mushlla, bahwa masjid menjadi penyelamat dari segala mara bahaya karena sebagai ‘rumah’ Allah, namun menjadi salah satu bentuk ikhtiar untuk menemukan ketenangan dalam beribadah, serta tidak mengurangi semangat dan nilai keutamaannya. Dalam pandangan kaidah fiqih, upaya mencegah dan menghindari kerusakan lebih baik didahulukan dari pada amalan mendatangkan kebaikan. Artinya, meskipun shalat berjamaah di masjid itu memiliki pahala yang lebih besar, namun berkumpulnya banyak orang memberikan kemungkinan mempermudah penyebaran virus corona, maka mengalihkan ibadah berjamaah di rumah itu menjadi lebih diutamakan, karena dampak sosial berjamaah di masjid akan memberikan kemungkinan yang lebih menyulitkan.
Dalam konteks ini lebih pada menempatkan agama sebagai social control dan motivator dalam membangun perilaku kemanusiaan. Selain memberi makna hidup, sebagai sumber nilai, moral, dan etika, agama juga sebagai wahana pemersatu anggota komunitas masyarakat yang mampu memberikan rasa aman dan percaya diri serta memberi motivasi yang kuat untuk melaksanakan kemaslahatan.
Inilah alasan yang menjadikan tempat ibadah sebagai sasaran yang terkena larangan berkumpulnya orang-orang. Karena memang motivasi dasar untuk tidak memperbolehkan shalat berjamaah di masjid adalah pesan ibadah juga. Berbeda dengan pasar, mall, swalayan dan yang lain yang penghuninya memiliki latar belakang banyak kepentingan dan beragam serta belum tentu semua menjadikan semangat beribadah menjadi alasan, meskipun hal itu bisa dilakukan. Dalam hal ini melarang kegiatan keagamaan yang berdimensi sosial karena alasan agama juga untuk kemaslahatan yang lebih luas lebih diutamakan.
Jika berjamaah di masjid tidak diperbolehkan karena alasan adanya kekhawatiran yang bisa memunculkan kemadhorotan bagi kehidupan sosial, ini bukan berarti untuk mendapatkan nilai ibadah dan pahala yang besar berakhir. Masih banyak macam ibadah meskipun dijalankan secara tidak berjamaah tapi bisa memiliki dampak sosial yang besar seperti bersodakoh, tentunya dijalankan dengan memenuhi aturan kesehatan sekarang ini. Amalan ini bisa membantu meringankan beban bagi orang-orang yang hidup dalam keterbatasan. Ini jauh lebih bermanfaat karena bagi penerima shodakoh akan mampu melanjutkan kehidupan keluarganya.
Ibadah individual tetapi memiliki nilai pahala yang besar seperti tadarus al-Qur’an di rumah bersama keluarga, syukur dilanjutkan dengan melakukan kajian isi kandungannya bagi yang berkemampuan. Tentunya amalan ini memiliki nilai pahala yang besar, selain bisa lebih meningkatkan keharmonisan hubungan antar anggota keluarga, membangun komunikasi, dan membina karakter sebagai bekal hidup. Sehingga akan tercipta generasi mandiri yang mampu mengembangkan peradaban agama dalam kehidupan sosial yang serba plural.
Meningkatkan Kekuatan Daya Penyatu Agama
Menyadari bahwa setiap kejadian di bumi ini tidak terlepas dari izin Allah, bahkan hingga tiada sehelai daun pun atau biji-bijian yang gugur melainkan Allah mengetahuinya (QS Al-An’am : 59), maka keberadaan wabah corona yang melanda dunia saat ini merupakan peluang untuk mengerakkan potensi agama secara massif memohon kepada Allah, agar virus segera menghilang. Hal ini membutuhkan semangat kerja secara bersinergi antara penguasa dengan semua tokoh dan pemuka agama. Penguasa sebagai pemilik perangkat yang dibutuhkan untuk melakukan pengkodisisan warga, seperti aparat keamanan berikut peralatan dan kebijakan kelembagaan yang diperlukan. Namun pola kerja perangkat tersebut perlu dibarengi dengan kekuatan spiritual secara simultan untuk membuka ‘kunci-kunci’ ketertutupan pintu hubungan umat dengan Sang Kholiq, yang seolah-olah selama ini telah menguncinya karena sikap kelalaian bersama. Hal ini dimaksudkan agar Allah membuka pintu harapan kita semua, sehingga virus corona segera diangkat.
Agama, meminjam istilah Nasaruddin Umar (2014), sesungguhnya memiliki kekuatan utama yakni, sebagai faktor kekuatan daya penyatu (centripetal) yang telah terbukti di dalam sejarah dalam mengembalikan berbagai kondisi kekacauan, fitnah, bencana dan sebagainya kembali menjadi normal. Kekuatan agama sebagai faktor centripetal telah berjasa besar. Meskipun para pemimpin dan para elite penguasa silih berganti tetapi kekuatan nilai-nilai dan norma norma agama sebagai living low di dalam masyarakat tetap senantiasa bekerja. Tentunya itu terjadi jika umat muslim berikhtiyar bersama, melakukan gerakan spiritual dan menjalankan aturan sesuai protokol kesehatan yang ditetapkan. Insyaallah, ibadah kita meskipun tanpa dilakukan berjamaah akan mendapatkan nilai keutamaan dan pahala yang besar juga.
Namun kondisi sebaliknya bisa saja terjadi, agama justru menjadi faktor kekuatan pemecah belah umat (centrifugal), apabila dijadikan sebagai media untuk mempertajam perbedaan yang dipahami masyarakat, bukan untuk mencari titik temu perbedaan pendapat yang berkembang. Sehingga yang diperoleh bukan normalisasi keadaan yang menjadi baik, virus corona pun enggan lenyap, justru umat menuai konflik yang tidak berkesudahan.