Respon Sosial: Pengendali Mudik Masa Pandemi Covid-19
Meski puasa Ramadhan sehari baru berlalu, namun perbincangan mudik semakin hangat, bahkan terdapat sebagian masyarakat telah mencuri start lebih awal untuk mudik karena adanya larangan mudik di masa pandemi Covid-19. Rasanya menyadarkan masyarakat untuk tidak mudik bakal menghadapi kesulitan, mengingat mudik lebaran telah menjadi ritual sosial keagamaan yang telah melekat bagi masyarakat Indonesia sejak dulu.
Media massa cetak dan elektronik menginformasikan bahwa upaya yang dilakukan pemerintah untuk mencegah mudik atau pulang kampung dalam banyak cara ternyata masih belum cukup mujarab. Tak ayal, operasi oleh aparat kepolisian-pun dilakukan untuk mencegah mobilisasi masyarakat pulang kampung/mudik, faktanya juga masih belum cukup efektif. Bahkan, pemerinah daerah sampai struktur paling rendah yaitu tingkat desa dan RT turut berpartisipasi menahan laju ritual pulang kampung/mudik ternyata juga belum mampu menahan keinginan sebagian masyarakat untuk pulang kampung, supaya pencegahan penyebaran Convid-19 dapat dicegah atau dikurangi.
Secara psikologis, menahan masyarakat yang diperantauan (boro) untuk tidak pulang kampus/mudik bukanlah persoalan sederhana. Ritual pulang kampung/mudik telah ada sejak zaman dahulu, dan ini merupakan kegiatan yang telah mendarah-daging bagi masyarakat Indonesia. Pulang kampusng, menjadi perjanjian internal diri masing-masing orang, dimana secara personal mereka telah mengikatkan diri bahwa lebaran merupakan hari untuk ritual keagamaan dan ritual sosial dirinya dengan lingkungan sekitar tempat dimana mereka dilahirkan. Dari situ, ritual mudik menjadi moment untuk melepaskan kerinduan panjang dan seakan menjadi ultimate day, yaitu hari dimana mereka menumpahkan rasa rindu, bertemu sanak-keluarga untuk berbahagia di hari kemenangan setelah sekian lama tidak bersama. Bukan hanya itu, lebaran merupakan hari ritual-sosial, berkunjung sanak keluarga, bersalam dan bermaafan, yang sescara sosiologis menjadi ruang menunjukkan eksistensi dan keberhasilannya setelah sekian lama merantau. Tradisi mudik di Indonesia dinilai sebagai ajang silaturahmi dan pengakuan kesuksesan bagi orang yang bermigrasi. Dari titik ini, sangat jelas mengapa masyarakat sulit melewatkan moment bahagia itu.
Kendati demikian, jika dalam kondisi normal hal itu sangatlah wajar, namun dalam kondisi yang tidak normal, maka masyarakat harus menyadari bahwa pulang kampung/mudik justru akan berdampak derita panjang pencegahan dan penghentian penularan Covid-19. Masyarakat harus sadar bahwa, pulang kampung/mudik akan berpotensi penularan Covid-19 terhadap keuarga dan lingkungan mereka, terurama bagi orang tua dan siapa saja yang memiliki imutas tubuh rendah. Rasa sayang seharusnya diwujudkan dengan cara menahan diri untuk tidak pulang kampung, kendatipun dimasa lebaran.
Fenomena Mudik
Mudik atau pulang kampung merupakan kegiatan perantau/pekerja migran untuk pulang ke kampung halaman. Mudik di Indonesia identik dengan tradisi tahunan yang terjadi menjelang Hari Besar Keagamaan, misalnya Lebaran, Natalan, dan sejenisnya. Pada saat itulah ada kesempatan untuk berkumpul dengan sanak saudara yang tersebar di perantauan, bersilaturrahmi, bersalaman, bermaafan, sowan kepada oleh yang lebih muda kepada orang tua atau yang lebih tua. Tradisi mudik bukan hanya di Indonesia, namun juga terjadi bagi masyarakat di negara-negara berkembang dengan mayoritas penduduk Muslim, seperti Bangladesh, Malaysia, Pakistan, dan lainnya.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mudik berarti berlayar atau pergi. Secara epistemologi, mudik berarti perjalanan pulang ke kampung halaman dalam kurun waktu tertentu untuk bertemu dan berkumpul dengan sanak keluarga dan terjadi saat momentum khusus. Istilah mudik bisa dikaitkan dengan kirata basa dari bahasa Jawa yaitu mulih disik yang berarti pulang dulu ke kampung halaman. Sedang menurut bahasa Betawi, “mudik” berasal dari penyederhanaan dari “udik” yang memiliki makna “kampung” (Somantri, 2001).
Menurut Lilik Aji Sampurno bahwa mudik telah ada sejah jaman dulu yaitu berawal dari Majapahit. Mudik juga dilakukan oleh pejabat Mataran Islam yang berjaga di daerah kekuasaan. Terutama mereka balik menghadap Raja pada Idul Fitri (Kompas.com, 6/5/2018). Artinya, fenomena mudik telah ada berabad yang lalu dan menjadi ciri masyarakat Indonesia yang paguyuban, dan ingin selalu hadir bersama keluarga terutama pada moment-moment tertentu. Sikap persaudaraan yang kuat, serta simpati dan emphaty sesama mempetkuat eksistensi mudik sebagai ritual sosial dan keagamaan.
Fenomena mudik menjadi trend menarik sejak kota-kota di Indonesia berkembang pesat sejak awal tahun 1970-an. Dinamika sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan di kota-kota besar menjadi “energi” pertambahan penduduk, terutama yang berasal dari migrasi. Persepsi bahwa kota-kota besar menawarkan sejuta harapan, sehingga menjadi media mengadu nasib, terlebih bagi mereka yang merasa hidup kurang beruntung di daerah. Dari situ, kota dipenuhi penduduk migran, sehingga pada saat hari besar “Lebaran” mereka harus mudik bertemu sanak-saudarannya.
Mudik akhir menjadi fenome sosial krusial ketika mobilisasi menjadi tak terkendai, yang membutuhlan infrastruktur musiman berskala besar. Alat transportsi publik sudah tidak mampu lagi untuk melayani. Mobioiasi masyarakat dengan kendaraan umum dan pribadi membludak daam sekejap, sehingga infrastruktur jalan tak mamou lagi melayani. Asalah sosial pun muncul, pencopetan, pencurian, kecelakaan, dan sejenisnya sering geradi setiap event mudik lebaran.
Tampaknya kini, di awal abad ke-21, setelah masyarakat Indonesia lebih dari tiga dasawarsa berkiprah dalam dunia ekonomi berorientasi pasar, motif mudik telah bergeser ke arah yang lebih rasional. Warga kota-kota besar mudik pada umumnya karena alasan praktis sebagai berikut: 1) rekreasi keluarga dalam suasana kekeluargaan; 2) pertemuan keluarga luas yang praktis, efisien, dan pada saat yang tepat secara sosio-kultural. Bahkan, untuk beberapa kasus, mudik dapat bertalian dengan lobi sosial dan ekonomi dalam kerangka penguatan dan perluasan modal sosial. Warga yang tidak mudik mulai mendapat ruang toleransi sosial. Mereka difahami dalam penjelasan rasional seperti sibuk dengan pekerjaan, masalah transportasi, keamanan rumah, dan sebagainya.
Muskinul Fuad (2011) menyatakan bahwa retual mudik memiliki banyak makna dan motif sehingga uoaya mempertahankan dan pencegahan sulit dilakukan. Fenomena ritual mudik, seakan terjadi social congrac antara individu dengan masyarakat dan lingkungan, dan menjadi bagian tak terpisahkan dengan kebedaran Lebaran. Dslam ritual mudik, mengandung nilai dasar kebutuhan (basic need) secaras osial dan kegamaan, seperti: (1) nyadran sebagi wujud baksi terhadap leluluhur; (2) silatuhhmi dan halal-bihalal sebagai wujud bakt kepada orang tua atau yang lebih tua, serta wujud kebersahaam terhadap sesama; (3) memberi sangu pada yang lebih muda (4); merayakan hari raya dan takbkiran di hari kemenagan; (5) sarana menunjukkan eksistensi diri atas keberhasilan diperantuan; (6) rekreasi keluarga; (7) makna primodial, dan sejenisna.
Responsivitas Sosial Pengendali Mudik
Terlepas kebesaran makna dibalik mudik lebaran baik secara sosial, ekonomi, maupun reliugitas dalam kondisi tidak normal perlu kiranya patut diperhatikan. Dimasa sedang dalam pertempuran melawan penyebaran Covid-19, keinginan mudik patut di pertimbangkan. Rasa sayang keluarga, dengan tidak melakukan penularan Covid-19 dengan tidak bertemu keluarga di hari Lebaran adalalah cara yang lebih arif. Disini, membutuhkan tingkat responsivitas sosial, yaitu sikapsadar diri untuk memahami, mengerti, dan menyadari kondisi sosial lingkungan yang sedang berusaha keras melawan penyebaran Covid-19 harus diikuti. Responsivitas dengan menahan diri untuk sementara waktu tidak mudik sangat dibutuhkan. Ikuti himbauan pemerintah, ikuti protokol kesehatan, adalah wujud sikap sayang kepad keluarga.
Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa sebanyak 7.775 teriveksi Covid; 960 orang dinyatakan sembuh, sementara yang meninggal sebanyak 674 orang bukan angka yang kecil. Bagaimana seandainya para migram di kota-kota besar yang tidak mau menahan diri untuk mudik sehingga mereka berbonding-bodong ingin pulang, bukan idak mungkin angka tersebut akan semakin besar berlipa. Harus disadari saudara-saudara kita yang ingin mudik bahwa tingka pemahaman dan keamanan masyaraka dikampung tidak sebanding dengan masyaraka kota yang lebih maju. Hal iu jusru akan memperparah situasi.
Patut diketahui saudara-saudara yang ingin mudik bahwa sampai hari ini penyebaran Virus Corona atau Covid-19 masih belum landai (flattening the curve), meskipun pemerinah telah menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar atau PSBB. Disini membuuhkan parisipasi masyarakat yaitu dengan phisical distancing, yaitu dengan tetap tinggal di rumah. Ujud dua hal itu diaplikasikan dengan menunda mudik untuk Lebaran 2020. Alasannya sudah jelas: dengan bepergian ke tempat orangtua, keluarga, kerabat, maka potensi si Virus Corona berpindah tempat juga besar. Lebih parah lagi, bila pembawa atau carrier adalah asymptomatic, yaitu tidak merasakan gejala bahkan tidak jatuh sakit, sementara yang ditulari bisa saja memiliki kesehatan lebih rentan, khususnya orang tua sehingga jatuh sakit.