BUDAYA POPULER DALAM BERKURBAN
BUDAYA POPULER DALAM BERKURBAN
Primi Rohimi*
Kurban adalah ibadah yang diperintahkan oleh Allah S.W.T. sebagaimana firman-Nya dalam Q.S. Al-Kautsar ayat 1-2, “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhan-mu dan berkurbanlah.” Salah satu ibadah yang diwariskan dari teladan Nabi Ibrahim a.s. ini dilakukan dengan menyembelih, membagikan, dan memakan hewan kurban pada tanggal 10 hingga 13 Dzullhijjah. Meskipun sebagai umat nabi terakhir, yaitu umat Nabi Muhammad, S.A.W., kita memang diminta untuk meneladani Nabi Ibrahim a.s. seperti firman-Nya dalam Q.S. Al-Mumtahanah ayat 4, “Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dia ...”. Kurban dilakukan oleh semua muslim di dunia sebagai wujud kepatuhan dan syukur dengan mengharap keridhoaan Allah S.W.T.
Iklan Kurban
Saat ini, euforia kurban diramaikan dengan berbagai cara. Program kurban dilakukan oleh berbagai lembaga dengan persuasif dan melibatkan industri perdagangan hewan kurban dan industri media iklan. Misalnya suatu lembaga dengan program “kurban sedekat hati” yang menyalurkan hewan kurban ke seluruh nusantara. Ada pula program “Green Kurban” yang mengiklankan satu hewan kurban turut ditanam satu pohon. Belum lagi cara kurban dengan arisan dan tabungan kurban yang diiklankan di media ruang publik.
Berbagai program kurban hampir selalu diiringi dengan iklan hewan kurban lengkap dengan tarifnya. Di satu sisi ini memudahkan mereka yang ingin berkurban. Tapi di sisi lain, apa makna di balik angka harga hewan kurban tersebut? Belum lagi makna angka pahala daging, bulu, maupun darah hewan kurban. Simbolisasi hewan kurban sebagai kendaraan di akhirat pun menarik untuk dimaknai.
Pergeseran Makna Kurban
Kurban adalah ibadah tahunan yang sarat dengan simbol di antaranya kepatuhan, syukur, pelenyapan nafsu binatang, kepedulian, berbagi, berprasangka baik pada Allah S.W.T., dan lainnya. Simbol status sosial ekonomi juga ada dalam kurban. Hukum kurban yang mewajibkan muslim yang mampu untuk menyembelih hewan kurbannya menunjukkan tingkat sosial ekonomi. Di sini muncul stratifikasi kurban yaitu golongan yang mampu berkurban dan golongan yang tidak mampu berkurban. Ada juga penggolongan yang hanya mampu berkurban kambing serta yang mempu berkurban sapi.
Makna kurban kini mengalami pergeseran dari ibadah menjadi komoditas. Kurban yang menjadi tradisi tahunan yang mengiringi Idul Adha akhir-akhir ini cenderung menjadi budaya populer. Unsur budaya populer dalam kurban misalnya pada maraknya industri perdagangan hewan qurban yang diiklankan di berbagai media serta program kurban yang melibatkan media iklan yang sifatnya massif dan simbolik. Iklan cenderung menggunakan atribut budaya populer (Bungin, 2008: 79). Iklan adalah media yang identik dengan pemasaran. Pemasaran adalah salah satu bagian dari industri yang bergandengan dengan produksi dan konsumsi. Iklan kurban dengan demikian memasarkan kurban sebagai komoditas yang dikonsumsi oleh umat Islam. Tidak sekedar hewan kurban yang menjadi komoditas jual beli. Namun kurban sebagai suatu ibadah juga menjadi komoditas industri. Pada titik tertentu, kurban bahkan menjadi gaya hidup.
Gaya hidup dalam berkurban misalnya bisa dilihat dari ekspos artis di media massa dengan hewan kurbannya. Visualisasi tersebut bisa memicu massa setidaknya penggemar artis tersebut untuk mengikuti kebiasaan sang artis dalam berkurban. Jika bukan kebiasaan berkurban yang ditiru, bisa jadi kebiasaan sang artis dalam mengekspresikan perasaannya saat berkurban dalam bentuk selfi dengan hewan kurban misalnya.
Ibadah kurban menjadi komoditas tontonan di media massa. Mulai dari acara sinetron hingga acara memasak dengan tema mengolah daging kurban. Beragam foto sate dan status media sosial tentang menu masakan daging kurban pun beredar di media sosial.
Memaknai Budaya Populer dalam Berkurban
Salahkah umat Islam yang mengekspresikan ibadahnya dalam berkurban dengan budaya populer dan beragam cara? Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin. Kaidah dalam beribadah pun sudah diatur dengan sedemikian detil dan berargumen. Budaya populer dalam berkurban hendaknya semakin memotivasi peningkatan kualitas keimanan dalam beribadah. Budaya populer yang menjadi sarana dakwah jangan sampai menghilangkan kesucian esensi beribadah yaitu mengharap ridho Allah S.W.T. baik bagi yang sudah mampu melaksanakannya maupun yang belum bisa karena hambatan yang syar’i. Berbaik sangkalah pada Allah S.W.T., diri sendiri, dan sekitar kita.
*Penulis adalah mahasiswi S3 Studi Islam UIN Walisongo Semarang; dosen Dakwah dan Komunikasi STAIN Kudus; anggota ELKASYF, Litbangkominfo PC Muslimat NU Kudus, dan Ketua Yayasan Aboesiri Klambu.