URBANISASI KESADARAN (URBANIZATION OF CONCIOUSNESS) Oleh : Saifuddin
Urbanisasi dalam arti fisik, yaitu perpindahan secara fisik masyarakat desa menuju kota, sebagai akibat dari ketimpangan kemakmuran antara di desa dan di kota. Seiring dengan perkembangan dan dinamika sosial, perpindahan dalam arti fisik semakin bergeser ke arah perpindahan non fisik (kesadaran). Hal ini dipicu oleh semakin dahsyatnya sistem informasi yang bisa diakses oleh masyarakat disemua kalangan, baik di kota maupun di desa. Berpindah dari desa ke kota dengan demikian tidak harus berpindah secara fisik, namun kesadaran berfikir dan bertindak seperti layaknya orang kota yang identik dengan masyarakat yang berperadaban maju (Civilized Society), juga bisa dikatakan sebagai urbanisasi.
Jika fenomena semacam ini kita cermati maka kita tidak heran jika kondisi “kedesan” . semakin lama semakin ditinggalkan. Hal ini seolah-olah sudah menjadi sebuah keniscayaan yang tidak terbantahkan. Yang tersisa sekarang hanyalah kampung-kampung yang ditinggal oleh sebagian penghuninya, jama’ah masjid yang kian “maju”, dan sepenggal peninggalan harapan, angan-angan, mimpi, dan bahkan budaya yang ditinggalkan oleh mereka yang ter.kota-kan secara kultural.
Justru peninggalan yang artivisial seperti inilah yang menjadi daya tarik kolektif sekaligus sebagai bagian dari penyebab semakin meningkatnya pemudik dari tahun ke tahun. Mereka pulang dengan membawa segepok simbol kemakmuran dan kesejahteraan yang di peroleh dari kota besar, dan menebarkannya ke seluruh masyarakat di kampung tempat mereka di lahirkan, meskipun terkadang terkesan masih “kaku”. Kondisi semacam inilah yang kemudian melahirkan dua model makna urbanisasi. Pertama, urbanisasi dalam arti fisik, yaitu perpindahan secara fisik masyarakat desa menuju kota, sebagai akibat dari ketimpangan kemakmuran antara di desa dan di kota.
Kedua, urbanisasi dalam arti non fisik, yaitu proses merambahnya budaya kota ke pinggiran ( desa), atau sering di sebut sebagai proses peng-“kota”an masyarakat. Model urbanisasi yang demikian itulah yang oleh David Harvey disebut sebagai “urbanisasi kesadaran” (urbanization of consciousness). Migrasi kesadaran tersebut meliputi cara bergaul dan proses komunikasi yang serba cepat, terjadinya “aglomerasi” atau gumpalan pusat akumulasi kapital dan kebudayaan, dan semakin meluasnya komponen kontradiktif, yaitu bercampurnya kemakmuran dengan kemiskinan dalam satu area. Akibat dari semua itu adalah antara kota dan desa nyaris tidak terdapat perbedaan dalam sisi kesadaran dan kebudayaan.
Urbanisasi kesadaran tersebut secara tidak langsung juga menggeser makna perilaku masyarakat disekitar kita. Meskipun kita atau mereka tinggal secara fisik di tengah kota, akan tetapi cara berfikir dan perilakunya tidak beradab, maka sebetulnya mereka belum ter-kota-kan, atau udik. Alias “ndeso”. ( Wallahu a’lamu bis shawab)