BUKAN SEKEDAR ANTAR JEMPUT Oleh : Muhamad Jalil, M.Pd
Oleh : Muhamad Jalil, M.Pd
Dosen Tarbiyah STAIN Kudus
Tiga peristiwa akbar periode Juni-Juli usai sudah. Diawali dengan puasa Ramadan dan diakhiri dengan Idul Fitri 1437 H. Bagi yang diterima puasanya akan merengkuh predikat takwa sekaligus menjadi manusia fitri bak bayi yang baru terlahir di biosfer bumi. Di sela-sela itu, ajang euro 2016 juga menyita perhatian publik di tanah air. Ronaldo cs berhasil meruntuhkan gagahnya Menara Eiffel dengan skor tipis 1-0.
Nilai spiritual Ramadan-Idul Fitri dan kemenangan Portugal sudah selayaknya menjadi inpirasi untuk kita semua. Inspirasi untuk memulai aktivitas baru yang lebih semangat setelah hibernasi panjang. Tidak terkecuali bagi anak-anak sekolah. Terlebih Tanggal 18 Juli 2016 mereka diwajibkan kembali masuk ke sekolah masing-masing. Ini sesuai dengan instruksi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan Nomor 4 Tahun 2016.
Kenyataannya jika dicermati masih ada sebagian anak-anak sekolah yang masih belum move on atau semangat memasuki ajaran baru. Mereka masih terbuai dengan suasana lebaran. Misalkan, menghabiskan banyak waktu di tempat rekreasi atau hiburan. Sekedar nonton televisi dan main game di rumah sambil menikmati sisa roti dan kupat lebaran. Asyik menyalakan kembang api dan petasannya. Dalam suasana seperti ini, ungkapan “Ayo kembali ke sekolah” bisa jadi tidak selantang terdengar jika dibandingkan dengan ungkapan “Libur telah tiba”.
Kurangnya kesiapan anak untuk belajar bisa jadi disebabkan oleh faktor minimnya perhatian orang tua terhadap pendidikan anak. Berdasarkan pengalaman penulis menjadi guru selama enam tahun, banyak anak-anak yang tidak siap dalam mengikuti pelajaran karena kurang perhatian dari orang tua. Misalkan, orang tua yang sama-sama menyibukkan diri dalam usahanya, pekerjaannya, dan bisnisnya, sehingga komunikasi anak dan orang tua tersendat. Di sini orang tua hanya memberikan perhatian fisis (uang saku, jajan, seragam, dan uang sekolah) saja tetapi perhatian yang sifatnya psikis justru diabaikan. Pun ditemui anak yang bermasalah dari keluarga yang broken home, sehingga kasih sayang orang tua terhadap anak menjadi timpang. Hal ini diperkuat dengan pendapat Dalyono (2015: 59) bahwa salah satu yang mempengaruhi keberhasilan dalam belajar adalah perhatian keluarga.
Untuk itu perlu langkah jitu dalam mengatasi problem tentang kesiapan anak sekolah sebelum belajar. Salah satu cara yang dilakukan Pemerintah melaui Kemendikbud yaitu menghimbau kepada orang tua agar di hari pertama sekolah agar mengantarkan anaknya sampai di depan gerbang sekolah. Mantan Rektor Paramadina itu sepertinya paham betul bahwa salah satu komponen penting dalam konsep Trilogi Pendidikan adalah keterlibatan orang tua secara aktif.
Di dalam surat edaran tertanggal 11 Juli itu semacam ada pesan tersirat yang begitu samar-samar. Penulis mencoba meraba dan menafsirkan surat edaran itu dengan hati-hati. Kurang lebih yaitu “Perhatian baik fisis maupun psikis dari orang tua sangat diperlukan anak selama proses pendidikan berlangsung”. Bukan hanya sekedar mengantar anak di hari pertama masuk sekolah saja. “Kampanye hari pertama masuk sekolah adalah sebagai sarana untuk meningkatkan interaksi antar stakeholder dengan pihak sekolah”, tutur Anies. Dia menambahkan dengan adanya kampanye semacam ini maka keterlibatan publik terhadap penyelenggaraan pendidikan dapat meningkat.
Perhatian fisis dalam teori motivasi Maslow berada dalam strata paling dasar (Sagala, 2013: 103). Anak-anak akan lebih termotivasi jika kebutuhan fisiologi (psychological needs) tercukupi. Kebutuhan fisiologis dalam hierarkinya diekstrak menjadi kebutuhan sandang, papan, pangan, kesehatan fisik dan sebagainya. Dalam konteks pendidikan, orang tua yang bijak dalam menerjemahkan perhatian fisis akan menjadi banyak ragamnya. Contoh sederhana adalah dengan menyediakan segala perlengkapan sekolah dari buku, pensil, pena, seragam, tas, topi, sepatu, dan lain-lain sebelum masuk sekolah.
Sebagian orang tua di lapangan terjebak pada perhatian fisis semata. Mereka beranggapan dengan menyediakan segala kebutuhan fisis anak sudah cukup. Sementara perhatian psikis (kejiwaan) yang jauh lebih penting diabaikan. Anak-anak model seperti inilah yang akan banyak merepotkan guru di sekolah. Pada umumnya mereka sering berulah di sekolah. Misalkan menjadi pembolos, trouble maker, minat belajar berkurang, dan lain sebagainya. Dikarenakan anak seperti melampiaskan ketidak mapanan jiwa saat perhatian orang tua di rumah berkurang. Sehingga mencari perhatian di tempat lain. Saat di sekolah mencari perhatian guru atau teman yang lain.
Di dalam teori motivasi Maslow, ada strata kebutuhan yang disebut kebutuhan sosial atau social needs (Uno, 2006: 41). Kebutuhan sosial ini bisa juga disebut dengan kebutuhan kasih sayang. Manifesto perhatian psikis orang tua terhadap anak dapat diterjemahkan dalam bentuk gen kasih sayang. Melalui kasih sayang orang tua dan anak yang mendalam maka akan membangun kepercayaan diri anak. Kepercayaan diri anak akan menjadikan anak semakin siap dengan belajar. Hal ini sesuai hukum “law of effect” dalam teori Behavioristik Thorndike (Dalyono, 2015: 31). Bilamana terjadi hubungan antara stimulus dan respons, dan dibarengi dengan “state of affairs” yang memuaskan, maka hubungan itu menjadi lebih kuat.
Membangun kasih sayang terhadap anak dapat diwujudkan dalam banyak hal. Contoh kecil meminta menceritakan kembali pengalaman menarik selama di sekolah. Bisa juga dengan menunjukkan jalan keluar atas masalah yang dialami anak di sekolah. Berkunjung ke taman edukasi seperti toko buku, museum, kebun binatang, dan perpustakaan daerah.
Perhatian baik fisis dan psikis dari orang tua terhadap anak merupakan salah satu bentuk syukur bil arkan terhadap Allah Swt. Dikarenakan anak adalah amanah yang harus disyukuri dan dididik. Sebagaimana Allah memberikan pelajaran kepada Lukman dalam mendidik anaknya. Dalam QS 31: 12 Allah Swt berfirman “Dan sungguh, telah kami berikan hikmah kepada Lukman, yaitu, “Besyukurlah kepada Allah! Dan barangsiapa bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya dia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barang siapa kufur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya, Maha Terpuji” (Kementerian Agama, 2012: 581).
Kaki Gunung Muria, 15 Juli 2016