Loading...

Link & Aplikasi

    

ADA APA DENGAN BOM BUNUH DIRI? Oleh : Irzum Farihah, S.Ag., M.Si

ADA APA DENGAN BOM BUNUH DIRI?

Irzum Farihah, S.Ag., M.Si*

 

Akhir-akhir ini media di negeri ini baik elektronik maupun cetak dipenuhi dengan berita kekerasan, dari tragedi kekerasan di Cikeusik pada komunitas Ahmadiyah, tindakan anarkhis antar agama di Temanggun, tindakan kekerasan kepada santri pesantren YAPI di Bangil Pasuruan. Belum hilang dari ingatan kejadian-kejadian kekerasan tersebut, muncul kekerasan di negeri ini  dengan modus terbaru, yaitu paket bom buku dialamatkan kebeberapa orang, yang diangaap melakukan penyelewengan dalam ajaran agama dan yang terbaru bom bunuh diri di Cirebon yang sangat naif dilakukan di tempat ibadah dan saat dilaksanakan shalat Jumat. Apabila kita lihat kejadian bom di Cirebon yang dilakukan oleh Syarif dengan mengatasnamakan agama jelas adanya pemahaman terhadapa ajaran Islam yang terputus, sehingga mudah sekali menklaim orang lain yang sama-sama satu agama dan satu sumber ajaran sebagai kelompok yang salah dan halal untuk diperangi. Beberapa kejadian kekerasan yang silih berganti dengan membawa bendera agama, sebenarnya sangat memalukan, karena dalam ajaran agama baik Islam maupun yang lainnya tidak adanya aturan tentang bentuk kekerasan kepada golongan lain.

Masyarakat Indonesia yang plural dengan beragam agama dan kebudayaan seharusnya sudah lebih memahami dan terbiasa dengan kondisi perbedaan dalam keyakinan, namun sebaliknya dengan keberagaman agama dan budaya, masyarakat kita ternyata belum menyadari hal tersebut. Akar permasalahan dari konflik antar maupun inter agama adalah mulai pudarnya rasa tulus diantara sesama. Meminjam bahasa Franz Magnis-Suseno, dalam hal ketulusan, merupakan masalah inti bahwa agama-agama hidup dalam iklim kebencian, dan kebencian antaragama serta kebencian antarorang-beragama meracuni ketulusan antar sesama.

Dalam al-Qur’an, para Nabi dan Rasul adalah mereka yang tulus ikhlas, bebas dari segala macam penyakit hati, berpura-pura, dan segala penyakit yang dapat meruntuhkan bangunan fitroh manusia. Begitu juga semua pemeluk agama diperintahkan Allah untuk berhati tulus dalam memahami dan menjalankan agama masing-masing (al-Bayyinah: 5). Tanpa ketulusan, agama tidak mempunyai makna apa-apa dihadapan Tuhan (Allah), bahkan akan menyesatkan orang banyak dan diri sendiri. Masalah hubungan antar atau interpemeluk agama. Dalam pengamatan, banyak yang mementingkan kuantitas daripada kualitas. Jumlah besar seringkali menjadi target, meskipun kualitas rendah. Jika memungkinkan manusia yang ada di bumi ini digiring semua agar beriman seperti mereka. Sikap arogan dan intoleran semacam ini dikritik keras dalam al-Qur’an surat Yunus 99 “Dan sekiranya Tuhanmu menghendaki, sungguh akan berimanlah manusia di muka bumi ini seluruhnya. Apakah engkau (Muhammad) ingin memaksa manusia hingga semuanya beriman?.” Jelas, bahwa dalam memilih agama manapun dilarang untuk melakukan pemaksaan, begitu pula dengan faham yang diyakini masing-masing individu. Keyakinan masing-masing individu itu diperoleh dari rangkaian proses memahami dan mempelajari ajaran agama. Oleh karena itu, wajar apabila para penganut agama akan berbeda dan memiliki kadar interpretasi yang beragam dalam memahami ajaran agamanya, sesuai dengan kemampuannya masing-masing.

Berbagai gambaran riil di lapangan menunjukkan bahwa membangun kerukunan dan toleransi di tengah keberagaman beragama memang bukan perkara mudah. Ada beberapa faktor yang sering menjadi ancaman terwujudnya toleransi. Pertama, sikap agresif para pemeluk agama dalam menyampaikan pesan agamannya. Kedua, adanya organisasi-organisasi keagamaan yang cenderung berorientasi pada peningkatan jumlah pengikut secara kuantitatif dibanding melakukan perbaikan kualitas keimanan para pemeluknya. Ketiga, munculnya sikap truth claim (klaim kebenaran) dari para pemeluk agama yang menganggap bahwa keyakinan atau faham yang dianut paling benar. Untuk meminimalisir hal tersebut, hendaknya umat Islam khususnya para dai melakukan kegiatan dakwah secara professional dan dewasa. Hal tersebut perlu mendapat perhatian semua pihak sebagai upaya membina kerukunan umat beragama yang sering mengalami kendala dalam sosialisasi ajaran agama oleh para dai yang kurang peka terhadap kerukunan umat beragama. Semangat berdakwah yang tinggi seringkali dinodai dengan cara-cara menjelek-jelekkan agama atau faham lain, Allah sendiri sudah mengingatkan dalam surat al-Hujurat ayat 11 “ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengolok-olok suatu kaum (laki-laki) terhadap kaum yang lain, karena boleh jadi mereka yang diolok-olok lebih baik dari mereka yang mengolok-olok, dan jangan para perepuan mengolok-olok terhadap perempuan-perempuan yang lain, karena boleh jadi mereka yang diolok-olok lebih baik dari mereka yang mengolok-olok, dan jangan kalian saling mencela antara sesama kalian dan jangan kalian saling memanggil dengan julukan atau gelar yang buruk…..”.

Kedewasaan sebagai umat yang akan mengantarkan keluhuran Islam di mata kelompok lain, serta menjadikan orang lain merasa aman dan tidak terancam dengan Islam, hendaknya para dai memiliki beberapa prinsip dalam berdakwah, diantaranya: Pertama, seorang dai mampu menyadari heterogenitas masyarakat. Kedua, dakwah hendaknya dilakukan dengan menafikan unsur-unsur kebencian. Esensi dakwah mestilah melibatkan dialog bermakna yang penuh kebijaksanaan, perhatian, kesabaran, dan kasih sayang. Ketiga, Dakwah hendaknya dilakukan secara arif , tulus dan tanpa paksaan. Keempat, menghindari sikap menjelek-jelekkan agama atau faham lain, yang berbeda dengan apa yang kita yakini. Kelima, mampu menanamkan sikap toleran baik antar agama atau sesama agama yang mempunyai faham berbeda kepada mad’u. Dengan demikian ruh Islam akan semakin tampak untuk seluruh penghuni di muka bumi ini.

*Dosen Jurusan Dakwah STAIN Kudus
Share this Post: