MEMAHAMI DASAR PENDIDIKAN ANAK DALAM AL QURAN
MEMAHAMI DASAR PENDIDIKAN ANAK DALAM AL QURAN
Oleh: Farida, M.Si
Empat belas abad yang lalu, Al Quran telah menjelaskan bahwa Allah Swt telah memberikan fitrah kepada manusia. Fitrah bermakna khilqah yaitu manusia diciptakan Allah memiliki pembawaan beragama tauhid. Teori fitrah menginformasikan bahwa bakat itu baik dan kedua orang tua (makna luasnya lingkungan) yang akan menjadikan anak keluar dari bakatnya. Berdasarkan teori fitrah tersebut, pendidikan Islam berfungsi untuk menjaga dan menumbuhkembangkan iman anak (Baharuddin. 2005. hal. 145) yang sudah dianugrahkan oleh Allah Swt sejak anak dalam kandungan.
Menurut M. Quraish Shihab, dalam pandangan Islam, keberagamaan adalah fitrah (sesuatu yang melekat pada diri manusia dan terbawa sejak kelahirannya). Yang merupakan ciri khas manusia dan membedakannya dengan hewan adalah fitrah beragama (naluri keagamaan adalah satu-satunya hal yang merupakan batas pemisah antara makhluk Tuhan yang disebut manusia dan hewan). Oleh karena itu, apabila manusia ingin menjadi manusia dalam arti sebenarnya, maka manusia harus beragama. Tentu saja agama yang dimaksud adalah agama Islam. Karena agama Islam merupakan agama yang diakui Allah Swt yang terdapat dalam QS. Ali Imran. 3:19 dan 85, yang artinya:
”Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam. orang-orang yang telah diberi kitab tidaklah berselisih, kecuali setelah mereka memperoleh ilmu, karena kedengkian di antara mereka. Siapa yang ingkar terhadap ayat-ayat Allah, maka sungguh, Allah sangat cepat perhitungannya”. ”Dan siapa yang mencari agama selain Islam, dia tidak akan diterima, dan di akhirat dia termasuk orang yang rugi”.
Dalam QS. Al Maidah. 5:3, yang artinya: ”Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan (daging) hewan yang disembelih bukan atas (nama) Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu sembelih. Dan (diharamkan pula) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan pula) mengundi nasib dengan azlam (anak panah), (karena) itu suatu perbuatan fasik. Pada hari ini orang-orang kafir telah berputus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu. Tetapi barang siapa terpaksa karena lapar bukan karena ingin berbuat dosa, maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang”.
Secara umum istilah fitrah sudah populer di masyarakat (muslim) sebagai sesuatu yang dapat disinonimkan dengan sifat dasar manusia. Di samping makna derivatnya sebagai sesuatu yang suci, seperti yang diambil dari istilah idul fitri (hari kesucian) di mana manusia diibaratkan seeprti bayi yang baru lahir yang belum ternodai oleh dosa. Dalam arti yang lebih luas, fitrah merupakan sifat atau sesuatu karakter yang dimiliki manusia sebagaimana Allah Swt menciptakannya, yang menandai perbedaan manusia dengan makhluk ciptaan lainnya. Quraish Shihab yang dikutip dari Muhammad bin Asykur, mengatakan bahwa fitrah adalah bentuk dan sistem yang diwujudkan Allah pada setiap makhluk. Fitrah yang berkaitan dengan manusia adalah apa yang diciptakan Allah pada manusia yang berkaitan dengan jasmani, akalnya serta ruhnya (Yuliyatun. 2010. hal 140). Maka dapat disimpulkan bahwa manusia adalah makhluk monodualis yaitu terdiri dari jasmani dan ruhani. Dan manusia disebut sebagai manusia yang normal (sehat) jika dapat memenuhi kebutuhan jasmani maupun kebutuhan ruhani secara proposional dan harmonis.
Manusia diciptakan dari dua dimensi yang saling berbeda satu dengan lainnya. Di satu pihak manusia cenderung kepada keburukan, kerendahan, stagnasi, tetapi di lain pihak manusia merasa terdorong untuk naik sampai ke puncak yang tinggi menuju yang Maha Suci (Allah). Dasar keutamaan manusia dari makhluk lain adalah pengetahuan yang merupakan lambang ilmu pengetahuan, sehingga Malaikat disuruh sujud kepada manusia. Sedang keutamaan Malaikat adalah dari segi asal kejadian. Dengan demikian salah satu prinsip Islam yang asasi dalam hubungannya dengan keadilan sosial adalah ketinggian martabat yang diperoleh melalui pengetahuan (Baharuddin. 2005. hal. 136). Inilah yang menjadi dasar bahwa manusia membutuhkan pendidikan untuk mendapatkan pengetahuan dan untuk mengaktualkan fitrahnya.
Muhammad ’Utsman Najati (2005. hal. 296), yaitu manusia dilahirkan dalam keadaan membawa fitrah. Yang dimaksud dengan fitrah adalah agama yang lurus, potensi untuk mengenal dan mentauhidkan Allah, cenderung kepada kebenaran, dan tidak mengalami penyimpangan. Abu hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda: ”Setiap bayi terlahir dalam fitrah. Lantas kedua orang tuanyalah yang akan membuatnya menjadi Yahudi, Nashrani, atau Majusi. Kesiapan yang bersifat fitrah ini perlu dipupuk dan dikembangkan melalui proses pendidikan dan pengajaran. Terkadang anak kecil dihadapkan pada beberapa pengaruh lingkungan yang negatif dan menyebabkan penyimpangan dari fitrah.
Fitrah manusia akan berkembang dengan baik apabila diberdayakan dan disadari penuh. Sebaliknya bila tidak ada upaya penyadaran dan pemberdayaan akan keberadaan fitrah manusia maka yang terjadi adalah keterasingan manusia dari eksistensi kefitrahannya. Manusia hanya akan bertindak sesuai dengan kemauan akal dan nafsunya saja, suara hati yang menjadi sumber kesadaran Ilahiyah menjadi tertutup. Hal itu akan ditunjukkan dalam bentuk-bentuk tingkah laku yang tidak mencerminkan nilai-nilai keutamaan Ilahiyah dan insaniyah. Oleh karena itu, sebelum anak-anak keluar dari lingkungan keluarga (menuju ke lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat), maka yang sangat mempengaruhi tumbuh dan kembang anak-anak adalah keluarganya. Sehingga keluarga (khususnya orang tua) diharapkan memahami fase perkembangan seorang anak agar senantiasa mengacu pada fitrah atau potensi untuk mentauhidkan Allah Swtserta mengaktualisasikan fitrah insaniyah.
Para psikolog memberikan perhatian serius pada masalah tuntutan perkembangan pada fase kanak-kanak dan pubertas. Tuntutan perkembangan yang penting pada fase kanak-kanak diantaranya, yaitu:
ï‚· Pembiasaan mengerjakan ibadah sejak usia kecil sampai si anak benar-benar terbiasa (habit) untuk melakukannya. Si anak juga mesti diajari nilai-nilai religius dan nilai-nilai etika yang luhur. Rasulullah Saw menyuruh agar anak-anak diperintah salat sejak usia tujuh tahun. Rasulullah Saw juga memiliki perhatian besar untuk mengajarkan ajaran-ajaran agama dan etika.
ï‚· Mengendalikan instink, motivasi, dan emosi. Rasulullah Saw telah mengajari para sahabat untuk melakukan hal tersebut.
Dari penjelasan tuntutan perkembangan, jelaslah bahwa Rasulullah Saw memiliki perhatian yang amat besar terhadap pendidikan anak dan pemuda. Beliau juga memiliki perhatian besar pada masalah pendidikan tradisi, nilai-nilai agama dan etika. Beliau begitu perhatian pada masalah tuntutan-tuntutan perkembangan yang dapat membuat perkembangan jiwa anak menjadi baik. Semua ini telah beliau terapkan empat belas abad lalu, jauh sebelum diterapkan oleh psikolog modern (Muhammad ’Utsman Najati. 2005. hal. 292). Uraian tersebut dapat dijadikan dasar pendidikan anak pada usia dini.
Namun sebelum membahas dasar pendidikan anak dalam Al Quran, perlu kiranya untuk dipahami terlebih dahulu pengertian pendidikan agama Islam menurut berbagai pakar:
a. Menurut Drs. Ahmad D. Marimba: pendidikan agama Islam adalah bimbingan jasmani, ruhani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam. Dengan pengertian yang lain sering kali beliau mengatakan kepribadian yang memiliki nalai-nilai agama Islam, memilih dan memutuskan serta berbuat berdasarkan nilai-nilai Islam, dan bertanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai Islam.
b. Menurut Abdul Rahman Nahlawi: Çóلتربيّة٠الإسْلاَ Ù…Ùيَّة٠هÙÙŠÙŽ ا لتَّنْظيم٠المÙنْÙَسÙيّ٠والإجتماعيّ٠الَّذيْ ÙŠÙؤْديْ إلى اعْتنَاق الإسْلاَم وتَطْبيْقَة كلّيّا ÙÙ‰ Øَياة الْÙرْد٠وَالْجمَاعَة٠Artinya: “pendidikan Islam ialah pengaturan pribadi dan masyarakat yang karenanya dapatlah memeluk Islam secara logis dan sesuai secara keseluruhan baik dalam kehidupan individu maupun kehidupan kolektif”.
c. Menurut Prof. Dr. Hasan Langgulung: pendidikan agama Islam ialah Pendidikan yang memiliki 4 macam fungsi, yaitu : 1). Menyiapkan generasi muda untuk memegang peranan-peranan tertentu dalam masyarakat pada masa yang akan datang. Peranan ini berkaitan erat dengan kelanjutan hidup (survival) masyarakat sendiri. 2). Memindahkan ilmu pengetahuan yang bersangkutan dengan peranan-peranan tersebut dari generasi tua kepada generasi muda. 3). Memindahkan nilai-nilai yang bertujuan memelihara keutuhan dan kesatuan masyarakat yang menjadi syarat mutlak bagi kelanjutan hidup (surviral) suatu masyarakat dan peradaban. Dengan kata lain, tanpa nilai-nilai keutuhan (integrity) dan kesatuan (integration) suatu masyarakat, maka kelanjutan hidup tersebut tidak akan dapat terpelihara dengan baik yang akhirnya akan berkesudahan dengan kehancuran masyarakat itu sendiri.
Dari uraian tersebut di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pendidikan agama Islam ialah bimbingan yang dilakukan oleh seorang dewasa kepada terdidik dalam masa pertumbuhan agar ia memiliki kepribadian muslim yang sejati. Jika direnungkan syariat Islam tidak akan dihayati dan diamalkan orang kalau hanya diajarkan saja, tetapi harus didirikan melalui proses pendidikan.
Nabi telah mengajak orang untuk beriman dan beramal serta berakhlak baik sesuai ajaran Islam dengan berbagai metode dan pendekatan. Dari satu segi melihat, bahwa pendidikan Islam itu lebih banyak ditunjukan kepada perbaikan sikap mental yang akan terwujud dalam amal perbuatan, baik bagi keperluan diri sendiri maupun orang lain. Dari segi lainnya pendidikan agama Islam tidak hanya bersifat teoritis saja, tetapi juga praktis. Ajaran agama Islam tidak memisahkan antara iman dan amal saleh. Oleh karena itu pendidikan agama Islam adalah sekaligus pendidikan iman dan pendidikan amal. Karena ajaran Islam berisi ajaran tentang sikap dan tingkah laku pribadi masyarakat. Menuju kesejahteraan hidup perorangan dan bersama, maka orang pertama yang bertugas mendidik masyarakat adalah para Nabi dan Rasul, selanjutnya para ulama dan para cendikiawan sebagai penerus tugas dan kewajiban mereka (Internet. Redaksi 2 Mei 2009).
Al Quran melalui lisan Lukman al-Hakim telah menetapkan bahwa akidah tauhid harus dijadikan dasar yang melandasi tegaknya syariah dan akhlak agar pengetahuan manusia dapat memberikan manfaat yang seluas-luasnya untuk kepentingan kehidupan manusia, karena hanya dari jiwa yang terpola dengan keimanan yang benarlah akan terlahir akhlak mulia. Itulah sebabnya mengapa Islam mendesak agar kesalehan dan iman menjadi tujuan pendidikan Islam. Sebab jika pendidikan Islam belum berhasil melahirkan kesadaran yang lebih besar akan kehadiran Illahi dalam jagat raya ini, maka dapat dikatakan pendidikan Islam belum berhasil sesuai yang diharapkan.
Kitab suci Al Quran sebagai acuan utama dan pertama dalam pendidikan. Karena ilmu Tuhan jika dipelajari akan dapat memperkuat dasar-dasar keimanan kepadaNya, dan jika dilanjutkan dalam penelitian atas alam raya ini maka tanpa disertai kekhawatiran akan kehilangan arah. Oleh karena itu bagaimanapun Islam menuntut agar imam dapat mewujud dalam diri seseorang demi terciptanya kehidupan yang seimbang. Karena agama yang benar adalah keyakinan akan adanya tatanan moral yang secara esensial dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk (Juwariyah. 2010. hal. 6).
Di dalam mendidik anak, kedua orang tua merupakan sosok manusia yang pertama kali dikenal anak, yang karenanya perilaku keduanya akan sangat mewarnai terhadap proses perkembangan kepribadian anak selanjutnya, sehingga faktor keteladanan dari keduanya menjadi sangat diperlukan. Karena apa yang didengar, dilihat dan dirasakan anak di dalam berinteraksi dengan kedua orang tua akan sangat membekas dalam memori anak. Begitu pentingnya peran kedua orang tua dalam pendidikan anak-anakya, sehingga Nabi mengatakan bahwa orang tua punya andil besar dalam mengarahkan atau membentuk anak-anaknya untuk menjadi pengikut suatu agama tertentu. Karena itu orang tua yang bijak akan selalu memberikan dasar-dasar yang benar bagi pendidikan anak-anaknya. Dan di dalam Al Quran sudah jelas disebutkan bahwa dasar pendidikan anak harus bersumber pada Al Quran. Tujuan pokok dari pendidikan Islam adalah terciptanya manusia utuh dalam pengertian yang seluas-luasnya, yakni sehat jasmani dan ruhani, berilmu dan berakhlak mulia, trampil dalam bekerja, dan setiap yang dilakukannya senantiasa bernilai ibadah kepada Allah untuk menyongsong kebahagiaan akhiratnya (Juwariyah. 2010. hal. 50).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa manusia adalah makhluk yang senantiasa membutuhkan pendidikan karena ia memiliki potensi yang dinamis dan dapat dikembangkan menjadi kekuatan yang sangat dahsyat. Kekuatan itu dilukiskan Al Quran sebagai khalifah Allah Swt yang merupakan satu-satunya makhluk Allah yang mempunyai predikat seperti itu. Namun potensinya yang besar itu tidak akan menjadi apa-apa jika tidak dikembangkan dengan pendidikan. Di sinilah manusia sangat tergantung kepada pendidikan. Manusia menjadi baik dan buruk sangat banyak ditentukan oleh pendidikan atau lingkungannya. Dapat juga dimaknai bahwa manusia sangat tergantung dengan pendidikan untuk menjadikannya sebagai manusia. Jadi menurut konsep Al Quran, manusia menjadi manusia melalui pendidikan, dan pendidikan adalah proses memanusiakan manusia (Baharuddin. 2005. hal. 146). Dan pendidikan agama dapat diberikan pada anak usia dini bahkan sejak anak masih dalam kandungan maupun masa konsepsi. Hal tersebut sudah jelas bahwa dasar pendidikan anak ada dalam Al Quran (sebagai dasar rujukan).
Daftar Pustaka
Baharuddin. 2005. Aktualisasi Psikologi Islami. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
Juwariyah. 2010. Dasar-dasar Pendidikan Anak dalam Al-quran. Yogyakarta. Sukses Offset (Penerbit Teras).
Muhammad ’Utsman Najati. 2005. Psikologi Nabi: Membangun Pesonan Diri dengan Ajaran-ajaran Nabi Saw. Bandung. Pustaka Hidayah.
Yuliyatun. 2010. Pendekatan Client-Centered dalam Perspektif Konseling Islam. Jurnal Konseling Religi, Jurusan Dakwah STAIN Kudus, Vol.1, No.2, Juli-Desember.